REMAJA ISLAM DAN PANCASILA
Usai orde baru tumbang, tiba-tiba saja kata-kata Pancasila lenyap begitu saja tertelan bumi tanpa bekas, tak secuil pun orang meneriakkan bahkan membisikkan tentang Pancasila yang dulu digeser dan digembar-gemborkan bahkan “sedikit pemaksaan” untuk diamalkan sebagai pedomanhidup seorang yang berbangsa Indonesia
Setiap orde kekuasaan memang punya cara rasa tersendiri dalam “mengindoktrinasi” remaja Islam dan Pancasila, rakyatnya, agar tidak hanya memahami tapi juga menjiwai dan mengamalkan dasar Negara Pancasia yang konon sebagai perekat, pemersatu dan digali dari kepribadian bangsa Indonesia ini seperti saat era Bung Karno dengan menggerolakan rakyatnya melalui pidato-pidato akbar yang memukau dan mencengangka disertai dengan pawai yang gegap gempita untuk menunjukkan sebagi jiwa-jiwa Pancasilais. Waktu jaman Pak Harto ditanamkan melalui pendidikan sekolah yang sistematis, seperti pelajaran PMP maupun pendidikan masyarakat melalui P4 disertai penyuluhan-penyuluhan yang tak henti-hentinya melalui radio dan TVRI dengan logunya “Menjalin Persatuan dan Kesatuan’.
Ini sepertinya runtuh begitu saja, atau mungkin megap-megap (mencari cara yang tepat Menggelindingkan pengalaman Pancasila bagi rakyatnya dengan teknologi Informasi). Ini merupakan tantangan bagi kita bersama dalam mengarungi zaman informasi yang salah-salah bangsa kita jadi bangsa Internasional bukan bangsa yang berjati diri Pancasila.
Sebenarnya, bagaimana bangsa yang berjatidiri Pancasila? Dan bagaimana juga umat Islam yang merupakan penduduk terbanyak yang merupakan potensi yang dahsyat bagi Negara menafsirkan Pancasila sebagai kepribadiannya? HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) seorang ulama yang juga sastrawan berpandangan bahwa seorang muslim yang benar-benar takwa kepada Allah SWT merupakan seorang yang Pancasilais. Hal ini juga digaris bawahi oleh AM Fatwa (sekarng salah satu pimpinan PAN (Partai Amanat Nasional)) saat dipenjara karena dianggap merong-rong kewibawaan pemerintah berteriak dengan lantang “justru karena saya seorang Islam, maka saya seorang Pancasilais”. Ini adalah secuil fakta bahwa Pancasila tidak dapat tegak atau tidak dapat sakti tanpa adanya masyarakat itu beragama dengan baik.
Memang, Islam dan Pancasila suatu dua muka mata uang yang tal terpisahkan, bukan berarti Pancasila sama dengan Pancasila atau Islam sama dengan Pancasila. Namun secara legal histories munculnya Pancasila bersama substansinya tidak akan lepas dari perjuangan dan toleransi seluruh umat Islam agar Indonesia menjadi satu kesatuan yang utuh. Dasar Negara Pancasila tidak dapat secara begitu saja terlepas dari “way of life” masyarakatnya yang telah punya kepercayaan pada Tuhan melalui keyakinan dalam beragama, namun juga harus disadari pula agama atau Islam tidak dapat secara dominasi mayoritas Mengklaim dasar Negara harus sesuai dengan keyakinan umat Islam, yang merupakan rahmatan lil ‘alamin. Tentu sebagai umat Islam berkeyakinan bahwa Islam sebagai agama yang benar-benar sempurna Ali-Imron ayat 19 yang artinya “Sesungguhnya agama disisi Allah adalah Islam…...”. Maka dari keyakinan inilah kemudian diperjuangkan agar menjadi landasan dalam berbangsa dan bernegara.
Namun, sekuat-kuatnya umat Islam ini memperjuangkannya, ternyata Allah menghendaki lain. Dalam Surat Ar-Ra’du ayat 11 yang artinya “…. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri ….”. Seperti ayat tersebut Allah menghendaki lain agar kita lebih ikhlas dan legowo berbhineka tunggal ika.
Oleh karena itu, bagi kita remaja Islam yang kini terombang ambing antara pengaruh teknologi informasi dengan budaya populis, hedonis dan budaya lain yang begitu saja hadir dan tak terasa tanpa sadar telah merasuki gaya hidup kita. Disisi lain, indoktrinasi pengamalan Pancasila yang sekarang ini semakin kering dan semakin kabur (walaupun indotrinasi itu perlu dipertanyakan keampuhannya dalam pengalaman sehari-hari pada mental Pancasilais mental Pancasilais, penguasa pemerintah maupun rakyat apalagi remaja Islam), maka haruslah disadari adanya persepsi ulang tentang bagaimana remaja Islam secara jujur dan terbuka mengakui dan mengamalkan penuh dengan semangat untuk benar-benar mewujudkan bahwa karena saya sebagai unat Islam maka saya menjadi manusia Pancasilais. (Liesna)
Usai orde baru tumbang, tiba-tiba saja kata-kata Pancasila lenyap begitu saja tertelan bumi tanpa bekas, tak secuil pun orang meneriakkan bahkan membisikkan tentang Pancasila yang dulu digeser dan digembar-gemborkan bahkan “sedikit pemaksaan” untuk diamalkan sebagai pedomanhidup seorang yang berbangsa Indonesia
Setiap orde kekuasaan memang punya cara rasa tersendiri dalam “mengindoktrinasi” remaja Islam dan Pancasila, rakyatnya, agar tidak hanya memahami tapi juga menjiwai dan mengamalkan dasar Negara Pancasia yang konon sebagai perekat, pemersatu dan digali dari kepribadian bangsa Indonesia ini seperti saat era Bung Karno dengan menggerolakan rakyatnya melalui pidato-pidato akbar yang memukau dan mencengangka disertai dengan pawai yang gegap gempita untuk menunjukkan sebagi jiwa-jiwa Pancasilais. Waktu jaman Pak Harto ditanamkan melalui pendidikan sekolah yang sistematis, seperti pelajaran PMP maupun pendidikan masyarakat melalui P4 disertai penyuluhan-penyuluhan yang tak henti-hentinya melalui radio dan TVRI dengan logunya “Menjalin Persatuan dan Kesatuan’.
Ini sepertinya runtuh begitu saja, atau mungkin megap-megap (mencari cara yang tepat Menggelindingkan pengalaman Pancasila bagi rakyatnya dengan teknologi Informasi). Ini merupakan tantangan bagi kita bersama dalam mengarungi zaman informasi yang salah-salah bangsa kita jadi bangsa Internasional bukan bangsa yang berjati diri Pancasila.
Sebenarnya, bagaimana bangsa yang berjatidiri Pancasila? Dan bagaimana juga umat Islam yang merupakan penduduk terbanyak yang merupakan potensi yang dahsyat bagi Negara menafsirkan Pancasila sebagai kepribadiannya? HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) seorang ulama yang juga sastrawan berpandangan bahwa seorang muslim yang benar-benar takwa kepada Allah SWT merupakan seorang yang Pancasilais. Hal ini juga digaris bawahi oleh AM Fatwa (sekarng salah satu pimpinan PAN (Partai Amanat Nasional)) saat dipenjara karena dianggap merong-rong kewibawaan pemerintah berteriak dengan lantang “justru karena saya seorang Islam, maka saya seorang Pancasilais”. Ini adalah secuil fakta bahwa Pancasila tidak dapat tegak atau tidak dapat sakti tanpa adanya masyarakat itu beragama dengan baik.
Memang, Islam dan Pancasila suatu dua muka mata uang yang tal terpisahkan, bukan berarti Pancasila sama dengan Pancasila atau Islam sama dengan Pancasila. Namun secara legal histories munculnya Pancasila bersama substansinya tidak akan lepas dari perjuangan dan toleransi seluruh umat Islam agar Indonesia menjadi satu kesatuan yang utuh. Dasar Negara Pancasila tidak dapat secara begitu saja terlepas dari “way of life” masyarakatnya yang telah punya kepercayaan pada Tuhan melalui keyakinan dalam beragama, namun juga harus disadari pula agama atau Islam tidak dapat secara dominasi mayoritas Mengklaim dasar Negara harus sesuai dengan keyakinan umat Islam, yang merupakan rahmatan lil ‘alamin. Tentu sebagai umat Islam berkeyakinan bahwa Islam sebagai agama yang benar-benar sempurna Ali-Imron ayat 19 yang artinya “Sesungguhnya agama disisi Allah adalah Islam…...”. Maka dari keyakinan inilah kemudian diperjuangkan agar menjadi landasan dalam berbangsa dan bernegara.
Namun, sekuat-kuatnya umat Islam ini memperjuangkannya, ternyata Allah menghendaki lain. Dalam Surat Ar-Ra’du ayat 11 yang artinya “…. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri ….”. Seperti ayat tersebut Allah menghendaki lain agar kita lebih ikhlas dan legowo berbhineka tunggal ika.
Oleh karena itu, bagi kita remaja Islam yang kini terombang ambing antara pengaruh teknologi informasi dengan budaya populis, hedonis dan budaya lain yang begitu saja hadir dan tak terasa tanpa sadar telah merasuki gaya hidup kita. Disisi lain, indoktrinasi pengamalan Pancasila yang sekarang ini semakin kering dan semakin kabur (walaupun indotrinasi itu perlu dipertanyakan keampuhannya dalam pengalaman sehari-hari pada mental Pancasilais mental Pancasilais, penguasa pemerintah maupun rakyat apalagi remaja Islam), maka haruslah disadari adanya persepsi ulang tentang bagaimana remaja Islam secara jujur dan terbuka mengakui dan mengamalkan penuh dengan semangat untuk benar-benar mewujudkan bahwa karena saya sebagai unat Islam maka saya menjadi manusia Pancasilais. (Liesna)
No comments:
Post a Comment