MANAJEMEN GAUL
Oleh : Farid Jauhari
Adit seorang siswa disebuah SMA di Yogyakarta, berasal dari keluarga yang berprinsip sekolah hanya untuk belajar dan kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi yang akhirnya untuk mencari pekerjaan. Dia selalu memilih siklus kehidupannya sekolah – rumah – tempat les (lembaga bimbingan belajar) dan jika diajak mengikuti kegiatan ekstra kurikuler ataupun kegiatan organisasi yang ada disekolahnya jawabannya capek, malas dan ingin focus pada sekolah, apalagi jika diajak untuk mengikuti kegiatan rohis, ia menolak dengan alasan takut terjerumus arus fundamentalis.
Prinsip Adit adalah berinteraksi yang pendek dan simple, ia hanya berinteraksi dengan mata pelajaran sekolah saja (study minded), ia merasa cukup bergaul sempit dan puas dengan dinamika hidup datar. Akibatnya, pertanyaan dan persoalan hidup pun dihadapinya dengan pola kehidupan yang cupet seperti sekolah hanya diorientasikan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi kemudian mencari pekerjaan.
Lain halnya dengan Beni, siswa SMA yang tipe kepribadiannya bebas dan selalu tampil trendi, dia inginnya dikatakan gaul sehingga selalu tidak ketinggalan di aneka club gaul, prinsip gaulnya adalah berinteraksi yang luas dan bebas. Akibatnya, jalan hidupnya dalam rangka memenuhi selera nafsunya yaitu hidup bebas atau pergaulan bebas. Aturan agama hanya berlaku saat menjalankan ibadah ritual saja, diluar ibadah ritual maka aturan agama hanya sebagai slogan saja.
Dua cuplikan fenomena diatas adalah contoh tipe dua kepribadian ekstrim, yaitu tipe apatis (yang penting saya baik) dan tipe tasyabbuh (ikut-ikutan non selektif). Tasyabbuh adalah sikap tidak terpuji dalam islam,sebagaimana hadist Nabi saw riwayat Imam Ahmad yang mengatakan, barang siapa yang mengikuti trend (pola/ budaya / kebiasaan) suatu kaum maka ia termasuk dari golongan mereka. Bahkan Nabi saw melarang sikap ikut-ikutan tanpa filter dan kepribadian bergaul bebas yang disebut sebagai imma’ah dalam hadits riwayat At-Tirmidzi. Sebab, bagaimanapun karakter seseorang akan sangat dipengaruhi oleh pola dan lingkungan pergaulannya sebagaiman sabda Nabi saw dalam riwayat Ahmad dan Abu Daud: ”Seseorang akan mengikuti gaya hidup teman bergaulnya, maka hendaklah ia periksa kembali siapa yang ia ajak bergaul.”
Sedang tipe apatis tidak peduli dengan kemaksiatan yang terjadi disekitarnya menyebabkan murka Allah SWT, Rasulullah saw bersabda: ”Kamu harus memerintah kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Jika tidak niscaya Allah akan menurunkan siksa, lalu pada saat itu kalian berdoa namun tidak lagi dikabulkan oleh-Nya.” (HR Tirmidzi)
Islam mengajarkan kita untuk bergaul secara luas namun selektif, Sebagaimana pesan Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,”orang beriman harus pandai dan mudah bergaul (ilfun ma’luf)”. Islam juga mengajarkan bagi setiap muslim hendaknya tidak menyukai seseorang kecuali orang yang bertakwa dan tidak membenci seseorang kecuali orang yang durhaka, sebagaimana sabda Nabi saw yang diriwayatkan Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dan Hakim).
Allah berfirman :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS At Taubah 71).
Seorang penyair (dalam kitabnya yang berjudul Ta’limul Muta’allim/ metode orang yang belajar) mengatakan: “Janganlalh kautanyakan perihal seseorang tetapi tanyakanlah perihal teman dekatnya karena setiap orang itu pasti akan mengikuti sepak terjang teman dekatnya”.
Hanya orang yang bertakwalah yang layak untuk dijadikan teman dekat dalam kehidupan ini. Karena orang yang bertakwa sebagaimana yang diungkapkan oleh Hasan Al-Bashri akan senantiasa memelihara (kehormatan) kita. Baik ketika kita ada maupun sewaktu kita tidak ada.
Muhammad ibnu Ja’far Ash Shadiq pernah mengatakan kepada anaknya:” Wahai anakku, janganlah engkau berteman dengan orang yang fasiq, karena sesungguhnya dia akan menularkan kefasiqannya kepadamu!”
Ibnu Umar ra telah mengatakan: “Demi Allah, seandainya aku puasa (sunnah) pada siang hari tanpa pernah berbuka, melakukan qiyamul lail tanpa tidur, dan membelanjakan hartaku sebanyak-banyaknya dijalan Allah, tetapi kemudian aku tidak menyukai orang-orang yang taat dan tidak membenci orang-orang yang tukang maksiat, tentulah aku khawatir bila Allah akan menjungkalkan diriku dengan muka dibawah kedalam neraka.”
Ibnu Umar ra juga menganggap, mendapat teman yang sholeh merupakan anugerah Ilahi yang paling berharga bagi seorang manusia sesudah ni’mat Islam, beliau mengatakan: “Tiada suatu kebaikan pun yang dianugerahkan kepada seorang hamba sesudah Islam, Selain dari saudara yang sholeh. Apabila seseorang diantara kamu merasakan sentuhan kasih sayang dari saudaranya, maka hendaklah ia berpegang kepadanya ”.
Ulama salaf sering berpesan agar teliti dalam memilih teman sepergaulan, supaya harta simpanan yang sebenarnya dan kesenangan yang sesungguhnya dapat diraih. Disebutkan bahwa di antara pesan-pesan al Hasan al-Bashri penghulu para tabi’in menyebutkan sebagai berikut: “Sesungguhnya engkau mendapat bagian dari teman setiamu, dan sesungguhnya engkau mendapat bagian dari sebutan orang yang kamu cintai oleh karena itu pilihlah saudara, teman dan majelis tempat duduk ”.
Imam Ibnu Hibban dalam Raudhotul’Uqala wa Nuzhatul Fudhala memaparkan salah satu prinsip gaul benar adalah memilih yang baik dan meninggalkan unsure negative dengan menukil ilustrasi Nabi saw tentang perumpamaan teman yang baik bagaikan tukang minyak wangi yang orang didekatnya akan dapat aromanya. Sebaliknya, teman yang negative, ibarat pandai besi, sekalipun orang yang didekatnya tidak terbakar percikan api, namun tetap mendapat panasnya api. Karena itu manajemen gaul merupakan tantangan bagi seorang remaja yang sering berada diantara dua persimpangan jalan, pergaulan liberal dan atau menutup diri dari pergaulan.
Dalam aspek ruang lingkup interaksinya, gaul bisa dengan manusia maupun gaul dengan aspek-aspek penunjang kehidupan seperti teknologi, atau ilmu pengetahuan. Sehingga muncul gaulnya aktivis dakwah dengan gaunyal ahli maksiat atau gaul yang intelek dengan gaul yang tidak intelek. Sehingga yang kita pilih tentunya menjadi gaulnya aktivis dakwah yang intelek. Untuk itu siswa ini dituntut selain aktiv di organisasi sekolah / organisasi dakwah, ia juga gaul dengan mata pelajaran (ilmu pengetahuan). Akan lebih tajam lagi jika jenis gaul kita bedakan antara gaulnya ahli syurga dengan gaulnya ahli neraka. Gaulnya ahli syurga tentunya aktivitasnya selalu berorientasi ibadah, mencari rido Allah SWT dan dakwah, Allah berfirman dalam QS An-Nahl : 125
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Allah juga berfirman dalam surat Albaqarah 256 “ … sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat …. ‘. Gaulnya ahli syurga ini merupakan mewarisi tugas/ profesi para rasul Allah. Allah berfirman dalam QS Saba’ : 28
“Dan Kami tidak mengutus kamu (wahai Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”.
Gaulnya ahli neraka aktivitasnya selalu berorientasi memenuhi nafsu, yang dibingkainya dengan istilah mengikuti perkembangan jaman atau mengikuti trend modern. Wallahu a’lam.
Jihad dalam Islam
Sebagaimana shalat, jihad adalah bagian dari ajaran Islam. Jihad bahkan termasuk di antara kewajiban dalam Islam yang sangat agung, yang menjadi 'mercusuar' Islam.
Secara bahasa, jihad bermakna: mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik dengan perkataan maupun perbuatan (Fayruz Abadi, Kamus Al-Muhîth, kata ja-ha-da.) Secara bahasa, jihad juga bisa berarti: mengerahkan seluruh kemampuan untuk memperoleh tujuan (An-Naysaburi, Tafsîr an-Naysâbûrî, XI/126).
Adapun dalam pengertian syar'î (syariat), para ahli fikih (fuqaha) mendefinisikan jihad sebagai upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah secara langsung maupun memberikan bantuan keuangan, pendapat, atau perbanyakan logistik, dan lain-lain (untuk memenangkan pertempuran). Karena itu, perang dalam rangka meninggikan kalimat Allah itulah yang disebut dengan jihad. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/153. Lihat juga, Ibn Abidin, Hâsyiyah Ibn Abidin, III/336).
Di dalam al-Quran, jihad dalam pengertian perang ini terdiri dari 24 kata. (Lihat Muhammad Husain Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl. I/12) Kewajiban jihad (perang) ini telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran di dalam banyak ayatnya. (Lihat, misalnya: QS an-Nisa' 4]: 95); QS at-Taubah [9]: 41; 86, 87, 88; QS ash-Shaf [61]: 4). Bahkan jihad (perang) di jalan Allah merupakan amalan utama dan agung yang pelakunya akan meraih surga dan kenikmatan yang abadi di akhirat. (Lihat, misalnya: QS an-Nisaa' [4]: 95; QS an-Nisa' [4]: 95; QS at-Taubah [9]: 111; QS al-Anfal [8]: 74; QS al-Maidah [5]: 35; QS al-Hujurat [49]: 15; QS as-Shaff [61]: 11-12. Sebaliknya, Allah telah mencela dan mengancam orang-orang yang enggan berjihad (berperang) di jalan Allah (Lihat, misalnya: QS at-Taubah [9]: 38-39; QS al-Anfal [8]: 15-16; QS at-Taubah [9]: 24).
Pertanyaannya, kapan dan dimana jihad dalam pengertian perang itu dilakukan? Pertama: manakala kaum Muslim atau negeri mereka diserang oleh orang-orang atau negara kafir. Contohnya adalah dalam kasus Afganistan dan Irak yang diserang dan diduduki AS sampai sekarang, juga dalam kasus Palestina yang dijajah Israel. Inilah yang disebut dengan jihad defensif (difâ'î). Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk membalas tindakan penyerang dan mengusirnya dari tanah kaum Muslim:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS al-Baqarah [2]: 190).
Kedua: manakala ada sekelompok komunitas Muslim yang diperangi oleh orang-orang atau negara kafir. Kaum Muslim wajib menolong mereka. Sebab, kaum Muslim itu bersaudara, laksana satu tubuh. Karena itu, serangan atas sebagian kaum Muslim pada hakikatnya merupakan serangan terhadap seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Karena itu pula, upaya membela kaum Muslim di Afganistan, Irak, atau Palestina, misalnya, merupakan kewajiban kaum Muslim di seluruh dunia. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ اسْتَنْصُرُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ فَعَلَيْكُمْ النَّصْرُ
Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam urusan agama ini maka kalian wajib menolong mereka. (QS al-Anfal [8]: 72).
Ketiga: manakala dakwah Islam yang dilakukan oleh Daulah Islam (Khilafah) dihadang oleh penguasa kafir dengan kekuatan fisik mereka. Dakwah adalah seruan pemikiran, non fisik. Manakala dihalangi secara fisik, wajib kaum Muslim berjihad untuk melindungi dakwah dan menghilangkan halangan-halangan fisik yang ada di hadapannya dibawah pimpinan khalifah. Inilah yang disebut dengan jihad ofensif (hujûmî). Inilah pula yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat setelah mereka berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah. Mereka tidak pernah berhenti berjihad (berperang) dalam rangka menghilangkan halangan-halangan fisik demi tersebarluaskannya dakwah Islam dan demi tegaknya kalimat-kalimat Allah. Dengan jihad ofensif itulah Islam tersebar ke seluruh dunia dan wilayah kekuasaan Islam pun semakin meluas, menguasai berbagai belahan dunia. Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah. Bahkan jihad (perang) merupakan metode Islam dalam penyebaran dakwah Islam oleh negara (Daulah Islam). Allah SWT berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاََ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ ِللهِ
Perangilah oleh kalian mereka (orang-orang kafir) hingga tidak ada lagi fitnah (kekufuran) dan agama ini (Islam) hanya milik Allah. (QS al-Baqarah [2]: 193).
Terorisme Bukan Jihad
Dari definisi dan konteks jihad di atas, jelas sekali bahwa tindakan terorisme (dalam arti melakukan berbagai peledakan bom ataupun bom bunuh diri bukan dalam wilayah perang, seperti di Indonesia) bukanlah termasuk jihad fi sabilillah. Sebab, tindakan tersebut nyata-nyata telah mengorbankan banyak orang yang seharusnya tidak boleh dibunuh. Tindakan ini haram dan termasuk dosa besar berdasarkan firman Allah SWT:
وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ
Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang haq. (QS al-Isra' [17]: 33).
Allah SWT juga berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Siapa saja yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam; ia kekal di dalamnya; Allah pun murka kepadanya, mengutukinya, dan menyediakan baginya azab yang besar. (QS. an-Nisa' [4]: 93).
Apalagi Allah SWT pun telah berfirman:
وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah Pengasih kepada kalian. (QS an-Nisa' [4]: 29).
Keagungan Jihad Tak Boleh Dinodai
Sebagaimana telah dijelaskan di awal, jihad adalah amal yang agung. Imam an-Nawawi, dalam Riyâdh ash-Shâlihîn, membuat bab khusus tentang jihad. Beliau antara lain mengutip sabda Nabi saw., sebagaimana yang dituturkan oleh Abu Hurairah:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: إِيْمَانٌ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ، قِيْلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: اَلْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُوْرٌ
Rasulullah saw. pernah ditanya, "Amal apakah yang paling utama?" Jawab Nabi, "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya." Beliau diitanya lagi, "Kemudian apa?" Jawab Nabi, "Perang di jalan Allah." Beliau ditanya lagi, "Kemudian apa?" Jawab Nabi, "Haji mabrur." (HR al-Bukhar dan Muslim).Imam Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa dalam hadis tersebut (atau yang serupa) perang di jalan Allah (jihad fi sabilillah) adalah amal yang paling utama setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 5/149).
Karena itu, sudah selayaknya kaum Muslim menjaga keagungan jihad ini dari siapapun yang berusaha menodai dan merendahkannya, baik karena ketadaktahuannya, ataupun karena kedengkiannya (seperti yang dilakukan Barat kafir penjajah) terhadap aktivitas jihad. Sebab, di samping makna jihad telah diterapkan dengan kurang tepat, keagungan jihad juga telah sengaja direndahkan oleh Barat kafir imperialis. Barat, misalnya, telah lama menyebut Islam sebagai agama 'barbarian' hanya karena mengajarkan jihad. Presiden Bush bahkan menyebut Islam sebagai agama radikal dan fasis, sementara PM Inggris Blair menjuluki Islam sebagai 'ideologi Iblis'; juga antara lain karena faktor jihad. Colin Powell saat menjadi menteri luar negeri AS juga pernah mengatakan, "Jika mereka hanya mengirim generasi muda ke madrasah, sekolah itu tidak melakukan apa-apa, tetapi mengindoktrinasi mereka dalam aspek-aspek buruk. Mengajarkan kebencian tidak akan membawa perdamaian bagi kita semua di kawasan ini." (Media Indonesia, 23/1/2004). Mengapa demikian? Semua itu tidak lain sebagai bentuk propaganda mereka agar kaum Muslim menjauhi aktivitas jihad. Sebab, bagaimanapun Barat menyadari bahwa jihad adalah ancaman tersebar bagi keberlangsungan mereka atas Dunia Islam. Karena itu, Barat bahkan berusaha agar jihad dihilangkan dari ajaran Islam. Hal itu antara lain diwujudkan dengan upaya Barat untuk memaksakan kurikulum ke madrasah-madrasah, pesantren-pesantren, atau lembaga-lembaga pendidikan Islam karena dianggap mengajarkan kekerasan dan memproduksi 'para teroris'.
Walhasil, di satu sisi kita jelas tidak setuju jika peledakan bom terhadap masyarakat (termasuk Muslim) bukan dalam kondisi perang dikategorikan sebagai jihad. Sebaliknya, di sisi lain, kita pun harus mewaspadai setiap upaya dari Barat kafir penjajah yang berusaha memanipulasi bahkan menghapuskan ajaran dan hukum jihad dari Islam demi kepentingan politik mereka. []
Adit seorang siswa disebuah SMA di Yogyakarta, berasal dari keluarga yang berprinsip sekolah hanya untuk belajar dan kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi yang akhirnya untuk mencari pekerjaan. Dia selalu memilih siklus kehidupannya sekolah – rumah – tempat les (lembaga bimbingan belajar) dan jika diajak mengikuti kegiatan ekstra kurikuler ataupun kegiatan organisasi yang ada disekolahnya jawabannya capek, malas dan ingin focus pada sekolah, apalagi jika diajak untuk mengikuti kegiatan rohis, ia menolak dengan alasan takut terjerumus arus fundamentalis.
Prinsip Adit adalah berinteraksi yang pendek dan simple, ia hanya berinteraksi dengan mata pelajaran sekolah saja (study minded), ia merasa cukup bergaul sempit dan puas dengan dinamika hidup datar. Akibatnya, pertanyaan dan persoalan hidup pun dihadapinya dengan pola kehidupan yang cupet seperti sekolah hanya diorientasikan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi kemudian mencari pekerjaan.
Lain halnya dengan Beni, siswa SMA yang tipe kepribadiannya bebas dan selalu tampil trendi, dia inginnya dikatakan gaul sehingga selalu tidak ketinggalan di aneka club gaul, prinsip gaulnya adalah berinteraksi yang luas dan bebas. Akibatnya, jalan hidupnya dalam rangka memenuhi selera nafsunya yaitu hidup bebas atau pergaulan bebas. Aturan agama hanya berlaku saat menjalankan ibadah ritual saja, diluar ibadah ritual maka aturan agama hanya sebagai slogan saja.
Dua cuplikan fenomena diatas adalah contoh tipe dua kepribadian ekstrim, yaitu tipe apatis (yang penting saya baik) dan tipe tasyabbuh (ikut-ikutan non selektif). Tasyabbuh adalah sikap tidak terpuji dalam islam,sebagaimana hadist Nabi saw riwayat Imam Ahmad yang mengatakan, barang siapa yang mengikuti trend (pola/ budaya / kebiasaan) suatu kaum maka ia termasuk dari golongan mereka. Bahkan Nabi saw melarang sikap ikut-ikutan tanpa filter dan kepribadian bergaul bebas yang disebut sebagai imma’ah dalam hadits riwayat At-Tirmidzi. Sebab, bagaimanapun karakter seseorang akan sangat dipengaruhi oleh pola dan lingkungan pergaulannya sebagaiman sabda Nabi saw dalam riwayat Ahmad dan Abu Daud: ”Seseorang akan mengikuti gaya hidup teman bergaulnya, maka hendaklah ia periksa kembali siapa yang ia ajak bergaul.”
Sedang tipe apatis tidak peduli dengan kemaksiatan yang terjadi disekitarnya menyebabkan murka Allah SWT, Rasulullah saw bersabda: ”Kamu harus memerintah kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Jika tidak niscaya Allah akan menurunkan siksa, lalu pada saat itu kalian berdoa namun tidak lagi dikabulkan oleh-Nya.” (HR Tirmidzi)
Islam mengajarkan kita untuk bergaul secara luas namun selektif, Sebagaimana pesan Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,”orang beriman harus pandai dan mudah bergaul (ilfun ma’luf)”. Islam juga mengajarkan bagi setiap muslim hendaknya tidak menyukai seseorang kecuali orang yang bertakwa dan tidak membenci seseorang kecuali orang yang durhaka, sebagaimana sabda Nabi saw yang diriwayatkan Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dan Hakim).
Allah berfirman :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS At Taubah 71).
Seorang penyair (dalam kitabnya yang berjudul Ta’limul Muta’allim/ metode orang yang belajar) mengatakan: “Janganlalh kautanyakan perihal seseorang tetapi tanyakanlah perihal teman dekatnya karena setiap orang itu pasti akan mengikuti sepak terjang teman dekatnya”.
Hanya orang yang bertakwalah yang layak untuk dijadikan teman dekat dalam kehidupan ini. Karena orang yang bertakwa sebagaimana yang diungkapkan oleh Hasan Al-Bashri akan senantiasa memelihara (kehormatan) kita. Baik ketika kita ada maupun sewaktu kita tidak ada.
Muhammad ibnu Ja’far Ash Shadiq pernah mengatakan kepada anaknya:” Wahai anakku, janganlah engkau berteman dengan orang yang fasiq, karena sesungguhnya dia akan menularkan kefasiqannya kepadamu!”
Ibnu Umar ra telah mengatakan: “Demi Allah, seandainya aku puasa (sunnah) pada siang hari tanpa pernah berbuka, melakukan qiyamul lail tanpa tidur, dan membelanjakan hartaku sebanyak-banyaknya dijalan Allah, tetapi kemudian aku tidak menyukai orang-orang yang taat dan tidak membenci orang-orang yang tukang maksiat, tentulah aku khawatir bila Allah akan menjungkalkan diriku dengan muka dibawah kedalam neraka.”
Ibnu Umar ra juga menganggap, mendapat teman yang sholeh merupakan anugerah Ilahi yang paling berharga bagi seorang manusia sesudah ni’mat Islam, beliau mengatakan: “Tiada suatu kebaikan pun yang dianugerahkan kepada seorang hamba sesudah Islam, Selain dari saudara yang sholeh. Apabila seseorang diantara kamu merasakan sentuhan kasih sayang dari saudaranya, maka hendaklah ia berpegang kepadanya ”.
Ulama salaf sering berpesan agar teliti dalam memilih teman sepergaulan, supaya harta simpanan yang sebenarnya dan kesenangan yang sesungguhnya dapat diraih. Disebutkan bahwa di antara pesan-pesan al Hasan al-Bashri penghulu para tabi’in menyebutkan sebagai berikut: “Sesungguhnya engkau mendapat bagian dari teman setiamu, dan sesungguhnya engkau mendapat bagian dari sebutan orang yang kamu cintai oleh karena itu pilihlah saudara, teman dan majelis tempat duduk ”.
Imam Ibnu Hibban dalam Raudhotul’Uqala wa Nuzhatul Fudhala memaparkan salah satu prinsip gaul benar adalah memilih yang baik dan meninggalkan unsure negative dengan menukil ilustrasi Nabi saw tentang perumpamaan teman yang baik bagaikan tukang minyak wangi yang orang didekatnya akan dapat aromanya. Sebaliknya, teman yang negative, ibarat pandai besi, sekalipun orang yang didekatnya tidak terbakar percikan api, namun tetap mendapat panasnya api. Karena itu manajemen gaul merupakan tantangan bagi seorang remaja yang sering berada diantara dua persimpangan jalan, pergaulan liberal dan atau menutup diri dari pergaulan.
Dalam aspek ruang lingkup interaksinya, gaul bisa dengan manusia maupun gaul dengan aspek-aspek penunjang kehidupan seperti teknologi, atau ilmu pengetahuan. Sehingga muncul gaulnya aktivis dakwah dengan gaunyal ahli maksiat atau gaul yang intelek dengan gaul yang tidak intelek. Sehingga yang kita pilih tentunya menjadi gaulnya aktivis dakwah yang intelek. Untuk itu siswa ini dituntut selain aktiv di organisasi sekolah / organisasi dakwah, ia juga gaul dengan mata pelajaran (ilmu pengetahuan). Akan lebih tajam lagi jika jenis gaul kita bedakan antara gaulnya ahli syurga dengan gaulnya ahli neraka. Gaulnya ahli syurga tentunya aktivitasnya selalu berorientasi ibadah, mencari rido Allah SWT dan dakwah, Allah berfirman dalam QS An-Nahl : 125
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Allah juga berfirman dalam surat Albaqarah 256 “ … sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat …. ‘. Gaulnya ahli syurga ini merupakan mewarisi tugas/ profesi para rasul Allah. Allah berfirman dalam QS Saba’ : 28
“Dan Kami tidak mengutus kamu (wahai Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”.
Gaulnya ahli neraka aktivitasnya selalu berorientasi memenuhi nafsu, yang dibingkainya dengan istilah mengikuti perkembangan jaman atau mengikuti trend modern. Wallahu a’lam.
Jihad dalam Islam
Sebagaimana shalat, jihad adalah bagian dari ajaran Islam. Jihad bahkan termasuk di antara kewajiban dalam Islam yang sangat agung, yang menjadi 'mercusuar' Islam.
Secara bahasa, jihad bermakna: mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik dengan perkataan maupun perbuatan (Fayruz Abadi, Kamus Al-Muhîth, kata ja-ha-da.) Secara bahasa, jihad juga bisa berarti: mengerahkan seluruh kemampuan untuk memperoleh tujuan (An-Naysaburi, Tafsîr an-Naysâbûrî, XI/126).
Adapun dalam pengertian syar'î (syariat), para ahli fikih (fuqaha) mendefinisikan jihad sebagai upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah secara langsung maupun memberikan bantuan keuangan, pendapat, atau perbanyakan logistik, dan lain-lain (untuk memenangkan pertempuran). Karena itu, perang dalam rangka meninggikan kalimat Allah itulah yang disebut dengan jihad. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/153. Lihat juga, Ibn Abidin, Hâsyiyah Ibn Abidin, III/336).
Di dalam al-Quran, jihad dalam pengertian perang ini terdiri dari 24 kata. (Lihat Muhammad Husain Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl. I/12) Kewajiban jihad (perang) ini telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran di dalam banyak ayatnya. (Lihat, misalnya: QS an-Nisa' 4]: 95); QS at-Taubah [9]: 41; 86, 87, 88; QS ash-Shaf [61]: 4). Bahkan jihad (perang) di jalan Allah merupakan amalan utama dan agung yang pelakunya akan meraih surga dan kenikmatan yang abadi di akhirat. (Lihat, misalnya: QS an-Nisaa' [4]: 95; QS an-Nisa' [4]: 95; QS at-Taubah [9]: 111; QS al-Anfal [8]: 74; QS al-Maidah [5]: 35; QS al-Hujurat [49]: 15; QS as-Shaff [61]: 11-12. Sebaliknya, Allah telah mencela dan mengancam orang-orang yang enggan berjihad (berperang) di jalan Allah (Lihat, misalnya: QS at-Taubah [9]: 38-39; QS al-Anfal [8]: 15-16; QS at-Taubah [9]: 24).
Pertanyaannya, kapan dan dimana jihad dalam pengertian perang itu dilakukan? Pertama: manakala kaum Muslim atau negeri mereka diserang oleh orang-orang atau negara kafir. Contohnya adalah dalam kasus Afganistan dan Irak yang diserang dan diduduki AS sampai sekarang, juga dalam kasus Palestina yang dijajah Israel. Inilah yang disebut dengan jihad defensif (difâ'î). Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk membalas tindakan penyerang dan mengusirnya dari tanah kaum Muslim:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS al-Baqarah [2]: 190).
Kedua: manakala ada sekelompok komunitas Muslim yang diperangi oleh orang-orang atau negara kafir. Kaum Muslim wajib menolong mereka. Sebab, kaum Muslim itu bersaudara, laksana satu tubuh. Karena itu, serangan atas sebagian kaum Muslim pada hakikatnya merupakan serangan terhadap seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Karena itu pula, upaya membela kaum Muslim di Afganistan, Irak, atau Palestina, misalnya, merupakan kewajiban kaum Muslim di seluruh dunia. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ اسْتَنْصُرُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ فَعَلَيْكُمْ النَّصْرُ
Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam urusan agama ini maka kalian wajib menolong mereka. (QS al-Anfal [8]: 72).
Ketiga: manakala dakwah Islam yang dilakukan oleh Daulah Islam (Khilafah) dihadang oleh penguasa kafir dengan kekuatan fisik mereka. Dakwah adalah seruan pemikiran, non fisik. Manakala dihalangi secara fisik, wajib kaum Muslim berjihad untuk melindungi dakwah dan menghilangkan halangan-halangan fisik yang ada di hadapannya dibawah pimpinan khalifah. Inilah yang disebut dengan jihad ofensif (hujûmî). Inilah pula yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat setelah mereka berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah. Mereka tidak pernah berhenti berjihad (berperang) dalam rangka menghilangkan halangan-halangan fisik demi tersebarluaskannya dakwah Islam dan demi tegaknya kalimat-kalimat Allah. Dengan jihad ofensif itulah Islam tersebar ke seluruh dunia dan wilayah kekuasaan Islam pun semakin meluas, menguasai berbagai belahan dunia. Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah. Bahkan jihad (perang) merupakan metode Islam dalam penyebaran dakwah Islam oleh negara (Daulah Islam). Allah SWT berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاََ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ ِللهِ
Perangilah oleh kalian mereka (orang-orang kafir) hingga tidak ada lagi fitnah (kekufuran) dan agama ini (Islam) hanya milik Allah. (QS al-Baqarah [2]: 193).
Terorisme Bukan Jihad
Dari definisi dan konteks jihad di atas, jelas sekali bahwa tindakan terorisme (dalam arti melakukan berbagai peledakan bom ataupun bom bunuh diri bukan dalam wilayah perang, seperti di Indonesia) bukanlah termasuk jihad fi sabilillah. Sebab, tindakan tersebut nyata-nyata telah mengorbankan banyak orang yang seharusnya tidak boleh dibunuh. Tindakan ini haram dan termasuk dosa besar berdasarkan firman Allah SWT:
وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ
Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang haq. (QS al-Isra' [17]: 33).
Allah SWT juga berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Siapa saja yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam; ia kekal di dalamnya; Allah pun murka kepadanya, mengutukinya, dan menyediakan baginya azab yang besar. (QS. an-Nisa' [4]: 93).
Apalagi Allah SWT pun telah berfirman:
وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah Pengasih kepada kalian. (QS an-Nisa' [4]: 29).
Keagungan Jihad Tak Boleh Dinodai
Sebagaimana telah dijelaskan di awal, jihad adalah amal yang agung. Imam an-Nawawi, dalam Riyâdh ash-Shâlihîn, membuat bab khusus tentang jihad. Beliau antara lain mengutip sabda Nabi saw., sebagaimana yang dituturkan oleh Abu Hurairah:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: إِيْمَانٌ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ، قِيْلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: اَلْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُوْرٌ
Rasulullah saw. pernah ditanya, "Amal apakah yang paling utama?" Jawab Nabi, "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya." Beliau diitanya lagi, "Kemudian apa?" Jawab Nabi, "Perang di jalan Allah." Beliau ditanya lagi, "Kemudian apa?" Jawab Nabi, "Haji mabrur." (HR al-Bukhar dan Muslim).Imam Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa dalam hadis tersebut (atau yang serupa) perang di jalan Allah (jihad fi sabilillah) adalah amal yang paling utama setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 5/149).
Karena itu, sudah selayaknya kaum Muslim menjaga keagungan jihad ini dari siapapun yang berusaha menodai dan merendahkannya, baik karena ketadaktahuannya, ataupun karena kedengkiannya (seperti yang dilakukan Barat kafir penjajah) terhadap aktivitas jihad. Sebab, di samping makna jihad telah diterapkan dengan kurang tepat, keagungan jihad juga telah sengaja direndahkan oleh Barat kafir imperialis. Barat, misalnya, telah lama menyebut Islam sebagai agama 'barbarian' hanya karena mengajarkan jihad. Presiden Bush bahkan menyebut Islam sebagai agama radikal dan fasis, sementara PM Inggris Blair menjuluki Islam sebagai 'ideologi Iblis'; juga antara lain karena faktor jihad. Colin Powell saat menjadi menteri luar negeri AS juga pernah mengatakan, "Jika mereka hanya mengirim generasi muda ke madrasah, sekolah itu tidak melakukan apa-apa, tetapi mengindoktrinasi mereka dalam aspek-aspek buruk. Mengajarkan kebencian tidak akan membawa perdamaian bagi kita semua di kawasan ini." (Media Indonesia, 23/1/2004). Mengapa demikian? Semua itu tidak lain sebagai bentuk propaganda mereka agar kaum Muslim menjauhi aktivitas jihad. Sebab, bagaimanapun Barat menyadari bahwa jihad adalah ancaman tersebar bagi keberlangsungan mereka atas Dunia Islam. Karena itu, Barat bahkan berusaha agar jihad dihilangkan dari ajaran Islam. Hal itu antara lain diwujudkan dengan upaya Barat untuk memaksakan kurikulum ke madrasah-madrasah, pesantren-pesantren, atau lembaga-lembaga pendidikan Islam karena dianggap mengajarkan kekerasan dan memproduksi 'para teroris'.
Walhasil, di satu sisi kita jelas tidak setuju jika peledakan bom terhadap masyarakat (termasuk Muslim) bukan dalam kondisi perang dikategorikan sebagai jihad. Sebaliknya, di sisi lain, kita pun harus mewaspadai setiap upaya dari Barat kafir penjajah yang berusaha memanipulasi bahkan menghapuskan ajaran dan hukum jihad dari Islam demi kepentingan politik mereka. []
No comments:
Post a Comment