LULUS
Kegembiraan selalu mendatangkan kelupaan, namun kegembiraan yang kali ini tak mungkin terlupakan sepanjang masa. Kegembiraan hadir pada saat diri ini menuju dunia yang lebih luas. Aku merasa teramat gembira, tak lupa pula sujud syukur kupanjatkan pada illahi Robbi, karena nilai 4,25 telah aku lewati dengan susah payah. Dalam satu tahun aku berpacu dan belajar giat untuk mengejar target nilai UAN 4,25 dan akhirnya aku lulus.
Keresahan menghampiriku pada tanggal 30 juni 2005 pagi, sampai pada akhirnya sepucuk surat tanda kelulusan aku terima. Antara lulus dan tidak membuat diriku semakin resah, entah sudah berapa kali doaku panjatkan atau pintu rumah aku lalui pada saat itu.
Greng, greng…..thin!!! membuat jantung berdegup keras tak beraturan. Langsung dari dalam rumah aku berlari terburu-buru dan pada saat itu juga dari arah dapur adikku sambil bersiul membawa air minuman kutabrak dan air minum tumpah.
“Aduh!!” teriak adikku sambil mengusap wajahnya yang terkena air minum. “Lihat lihat dong kalau keluar kamar!!” omel adikku.”Sorry,” jawabku singkat dan terus keluar.
Pak pos datang pikirku, apa aku tidak lulus ? tambahku.”Ya Allah luluskanlah hamba, meskipun hamba sering lupa padamu dan meninggalkan sholat,” sesalku. Namun setelah didepan pintu bukannya Pak Pos yang datang, melainkan paket barang.
“ Maaf Mbak, tahu alamat ini Mbak ?” tanyanya sambil mengulurkan alamat yang dituju. “ Sebelah sana Pak satu rumah lagi dari sini,“ ujarku sambil menunjuk arah rumah baru yang paling bagus, gaya spanyolan. “Oh ya,” tanpa mengucap terimakasih dia berlalu, lugu. Kemudian aku membalikkan badan untuk masuk, namun sekali lagi aku dikagetkan suara “Kring!!” dengan refleks, secepatnya aku menoleh. “Pak Pos,” ucapku kaget. Kembali rasa risau menjalari tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Deg…. Deg… deg.. suara jantungku berdetak cepat. Sambil gemetar kuulurkan tangan untuk menerima surat itu.
“Kok naik sepeda Pak? Biasanya kan naik motor,” tanyaku mencoba menghilangkan keteganganku.
“Iya Mbak, lha wong motornya rusak,” jawabnya dengan logat kejawennya yang kental sambil berlalu.
Aku takut membuka amplop itu, namun aku juga ingin mengerti isi surat yang masih aku pandangi. Kemudian aku masuk ke kamarku.
Aku pandangi surat itu lama, mencoba menerka isi surat tersebut. Lantas aku teringat satu dua hari yang lalu aku bermimpi tidak baik,” Apa aku tidak lulus?” tanyaku dalam hati.”Astagfirullah, semoga tidak seperti dalam mimpi,” doaku. Aku balik-balik surat itu, serasa hanya itu yang mampu aku lakukan. “Ya Allah, semoga hambamu ini lulus ya Allah,” rintihku dalam doa. Aku bulatkan tekad, keberanian…,aku tarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan. Aku pandangi surat itu dan “Ngeong,” suara kucing disamping kamarku mengagetkanku, membuatku bertambah lemas dan berdegub jantungku.
“Bismillahirrohmanirrohim….,” pelan aku ucapkan nama Allah dan setelah itu aku buka…., aku terduduk, aku tertunduk mendekap surat itu. “ Aku lulus!!!” teriakku girang. “ Terima kasih ya Allah, Alhamdulillah,” kataku. Kemudian aku bersujud menciumi lantai 3 kali, aku menangis.
Di luar kamar, aku mendengar suara barang jatuh dan suara orang mengaduh, ternyata Emakku yang mendengar aku menjerit berlari menuju kamarku dan tanpa sengaja menabrak adikku yang membawa air minum, adikku mengaduh untuk kedua kalinya.
“Maaf, itu Mbak Ana kenapa Is?” tanya Emak. “Embuh Mak,” jawabnya pendek sambil mengusap wajahnya yang basah. Emak mengetuk pintu kamarku seraya berkata,” Kenapa Na?” tanyanya. Sambil mengusap airmataku yang tersisa, aku membuka pintu kamar dan memberikan surat tanda lulus dengan gemetar. “Jadi kamu lulus, Alhamdulillah!” Emak memelukku erat dan berkata, “Selamat ya Nak!”.”Terimakasih Mak, semua ini juga berkat doa Emak,” ujarku.” Selanjutnya rencananya bagaimana?” tanya Emak.”Inginnya kuliah, sebab kemarin dapat surat panggilan dari universitas negri tanpa tes, tapi entahlah!” ujarku pelan.” Ya, nanti diutarakan ke Bapak,” ujar Emak sambil berlalu.
Kebimbangan keraguan mengisi hatiku. Sebab temaram lampu pendidikan semakin meredup sehingga biaya pendidikan tambah mahal. Yang terhempas oleh krisis moneter, krisis multidimensi. Pendidikan seperti kembali ke masa lalu, sebelum kemerdekaan. Bagi yang ningrat dan kaya yang bisa sekolah. Tak perlu ditanya siapa yang salah, bersyukur adalah cara yang paling baik yang bisa kita lakukan.
Tidak hanya aku yang mengalami kegetiran seperti ini, masih banyak Ana Ana lain dan lebih susah lagi. Kertas panggilan PBUD dari universitas yang bertuliskan Rp. 25 juta aku pandangi. “Apa mungkin Bapak menyiapkan uang sebanyak itu, sedangkan Bapak hanya seorang satpam kontrak di perusahaan konveksi yang kembang kempis. Bila ada konglomerat yang pernah korupsi memberikan dana, mungkin baru bisa membayar,” renungku. Tinggal doaku semoga krisis ini segera berakhir, dan aku bersyukur, aku bisa lulus.(Tri Rumiyati XIIS2).
Kegembiraan selalu mendatangkan kelupaan, namun kegembiraan yang kali ini tak mungkin terlupakan sepanjang masa. Kegembiraan hadir pada saat diri ini menuju dunia yang lebih luas. Aku merasa teramat gembira, tak lupa pula sujud syukur kupanjatkan pada illahi Robbi, karena nilai 4,25 telah aku lewati dengan susah payah. Dalam satu tahun aku berpacu dan belajar giat untuk mengejar target nilai UAN 4,25 dan akhirnya aku lulus.
Keresahan menghampiriku pada tanggal 30 juni 2005 pagi, sampai pada akhirnya sepucuk surat tanda kelulusan aku terima. Antara lulus dan tidak membuat diriku semakin resah, entah sudah berapa kali doaku panjatkan atau pintu rumah aku lalui pada saat itu.
Greng, greng…..thin!!! membuat jantung berdegup keras tak beraturan. Langsung dari dalam rumah aku berlari terburu-buru dan pada saat itu juga dari arah dapur adikku sambil bersiul membawa air minuman kutabrak dan air minum tumpah.
“Aduh!!” teriak adikku sambil mengusap wajahnya yang terkena air minum. “Lihat lihat dong kalau keluar kamar!!” omel adikku.”Sorry,” jawabku singkat dan terus keluar.
Pak pos datang pikirku, apa aku tidak lulus ? tambahku.”Ya Allah luluskanlah hamba, meskipun hamba sering lupa padamu dan meninggalkan sholat,” sesalku. Namun setelah didepan pintu bukannya Pak Pos yang datang, melainkan paket barang.
“ Maaf Mbak, tahu alamat ini Mbak ?” tanyanya sambil mengulurkan alamat yang dituju. “ Sebelah sana Pak satu rumah lagi dari sini,“ ujarku sambil menunjuk arah rumah baru yang paling bagus, gaya spanyolan. “Oh ya,” tanpa mengucap terimakasih dia berlalu, lugu. Kemudian aku membalikkan badan untuk masuk, namun sekali lagi aku dikagetkan suara “Kring!!” dengan refleks, secepatnya aku menoleh. “Pak Pos,” ucapku kaget. Kembali rasa risau menjalari tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Deg…. Deg… deg.. suara jantungku berdetak cepat. Sambil gemetar kuulurkan tangan untuk menerima surat itu.
“Kok naik sepeda Pak? Biasanya kan naik motor,” tanyaku mencoba menghilangkan keteganganku.
“Iya Mbak, lha wong motornya rusak,” jawabnya dengan logat kejawennya yang kental sambil berlalu.
Aku takut membuka amplop itu, namun aku juga ingin mengerti isi surat yang masih aku pandangi. Kemudian aku masuk ke kamarku.
Aku pandangi surat itu lama, mencoba menerka isi surat tersebut. Lantas aku teringat satu dua hari yang lalu aku bermimpi tidak baik,” Apa aku tidak lulus?” tanyaku dalam hati.”Astagfirullah, semoga tidak seperti dalam mimpi,” doaku. Aku balik-balik surat itu, serasa hanya itu yang mampu aku lakukan. “Ya Allah, semoga hambamu ini lulus ya Allah,” rintihku dalam doa. Aku bulatkan tekad, keberanian…,aku tarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan. Aku pandangi surat itu dan “Ngeong,” suara kucing disamping kamarku mengagetkanku, membuatku bertambah lemas dan berdegub jantungku.
“Bismillahirrohmanirrohim….,” pelan aku ucapkan nama Allah dan setelah itu aku buka…., aku terduduk, aku tertunduk mendekap surat itu. “ Aku lulus!!!” teriakku girang. “ Terima kasih ya Allah, Alhamdulillah,” kataku. Kemudian aku bersujud menciumi lantai 3 kali, aku menangis.
Di luar kamar, aku mendengar suara barang jatuh dan suara orang mengaduh, ternyata Emakku yang mendengar aku menjerit berlari menuju kamarku dan tanpa sengaja menabrak adikku yang membawa air minum, adikku mengaduh untuk kedua kalinya.
“Maaf, itu Mbak Ana kenapa Is?” tanya Emak. “Embuh Mak,” jawabnya pendek sambil mengusap wajahnya yang basah. Emak mengetuk pintu kamarku seraya berkata,” Kenapa Na?” tanyanya. Sambil mengusap airmataku yang tersisa, aku membuka pintu kamar dan memberikan surat tanda lulus dengan gemetar. “Jadi kamu lulus, Alhamdulillah!” Emak memelukku erat dan berkata, “Selamat ya Nak!”.”Terimakasih Mak, semua ini juga berkat doa Emak,” ujarku.” Selanjutnya rencananya bagaimana?” tanya Emak.”Inginnya kuliah, sebab kemarin dapat surat panggilan dari universitas negri tanpa tes, tapi entahlah!” ujarku pelan.” Ya, nanti diutarakan ke Bapak,” ujar Emak sambil berlalu.
Kebimbangan keraguan mengisi hatiku. Sebab temaram lampu pendidikan semakin meredup sehingga biaya pendidikan tambah mahal. Yang terhempas oleh krisis moneter, krisis multidimensi. Pendidikan seperti kembali ke masa lalu, sebelum kemerdekaan. Bagi yang ningrat dan kaya yang bisa sekolah. Tak perlu ditanya siapa yang salah, bersyukur adalah cara yang paling baik yang bisa kita lakukan.
Tidak hanya aku yang mengalami kegetiran seperti ini, masih banyak Ana Ana lain dan lebih susah lagi. Kertas panggilan PBUD dari universitas yang bertuliskan Rp. 25 juta aku pandangi. “Apa mungkin Bapak menyiapkan uang sebanyak itu, sedangkan Bapak hanya seorang satpam kontrak di perusahaan konveksi yang kembang kempis. Bila ada konglomerat yang pernah korupsi memberikan dana, mungkin baru bisa membayar,” renungku. Tinggal doaku semoga krisis ini segera berakhir, dan aku bersyukur, aku bisa lulus.(Tri Rumiyati XIIS2).
No comments:
Post a Comment