NYONTEK SUATU KEBUDAYAAN DARI TUNTUTAN YANG DIPAKSAKAN SECARA TIDAK SADAR
A: Untung aku tadi bawa contekan, coba kalau tidak, mana bisa aku ngerjain tuh soal!
B: Nyebai emang tuh guru kalau buat soal sulitnya minta ampun!
A: Coba bayangin, ulangan yang kemarin aku cuma dikasih nilai sembilan dibalik alias enam.
B: Untung aku nggak ketahuan, coba kalau seperti Tuti tadi, dia disuruh keluar waktu ulangan waktu ketahuan nyontek.
Seorang guru kebetulan lewat sambil menguping percakapan tadi cuma bisa cengar-cengir dan garuk-garuk kepalanya yang udah botak.
Memang pelajar zaman ini pandangannya hanya nyontek, maunya santai tapi dapat nilai banyak. Anehnya lagi mereka tidak jera walaupun sudah diperingatkan berulang kali dengan berbagai ancaman. Ketahuan hari ini hari lain sudah lain lagi metodenya. Kemarin lewat lipatan rok, sekarang dengan menulis di meja bangku, esok ?
Esoknya guru tadi dengan geram masuk ke kelas sambil berkata “Anak-anak, yang berani nyontek lagi akan digantung di muka kelas, fotonya”. “he…he…he… Rupanya gertakan tadi berhasil. Sebab dilihatnya dalam ulangan hari ini tidak ada secuil kertas, maupun tangan yang bertulisan.
Tapi, “gila, anak jaman ini, masa 80% dari jawaban sama”. Walaupun rata-rata dapat nilai 70 (alias kerja sama).
Esoknya guru masuk ke ke kelas lagi sambil marah-marah. “Kalian goblok, kurang ajar, kurang disiplin, dan sebagainya”.
Sebetulnya tak bisa kesalahan ini seluruhnya ditujukan kepada murid walaupun jelas bahwa murid nyontek adalah kesalahan. Mengapa ? Sebab seperti hukum mengatakan bahwa setiap akibat pasti ada penyebabnya dan disini bahwa sesungguhnya nyontek adalah suatu akibat, dari sebab di samping sebab dari anak itu sendiri, mungkin juga dari metode guru yang kurang mengena.
Sebab Menyontek
Umumnya pelajaran yang disampaikan baru dalam tingkat pengajaran belum sampai pada tingkat mendidik. Contoh: Umumnya pada pelajaran agama para murid hanya dihadapkan pada suatu pelajaran hafalan, cara-cara beribadah dan sebagainya. Tapi tanpa di didik tentang pelajaran agama tersebut dipelajari. Sehingga walau nilai ulangan mereka bagus, tetapi dalam tindak tanduk serta jiwa belum tertanam suatu tindak dan jiwa beragama walau pengetahuan agamanya sudah memadai.
Juga pada pelajaran lain seperti bahasa mereka diberi pengetahuan bahasa, dan siswa pun nilainya bagus, tapi kenyataannya murid masih saja menggunakan bahasa yang salah.
Akibatnya
Kurang cintanya para murid akan pelajaran yang ia pelajari. Sebab untuk apa dia belajar suatu pelajaran kurang jelas. Apakah gunanya menghafal suatu peristiwa sejarah?dimana letak kegunaan ilmu itu pada perjalanan hidup ini. Dengan kurang cintanya murid pada pelajaran, akibatnya ia merasa bodoh dengan dengan pelajarannya atau dia tidak menjiwai pelajaran itu. Maka bodohlah ia akibatnya ngepeklah ia.
Kebudayaan nilai.
Sebab lain dari ngepek/nyontek/kejasama ialah tuntutan mereka terhadap nilai yang bagus.seperti pada uraian di atas bahwa karena system pendidikan yang salah maka terhadap nilai yang bagus.untuk apa aku perlu belajar sejarah?ia tak tahu bahwa sesungguhnya mempelajari sejarah amatlah berguna bagi hidupnya. Tahunya bahwa ia mempelajari dan belajar sejarah agar mendapat nilai yang bagus. “Nilai yang bagus adalah standar bagi prestasi kami”, kata seorang murid.
Nah, kalau standar prestasi cuma diukur dengan bagusnya nilai akibatnya muridpun cuma akan mencari nilai bukan mencari pengetahuan, mereka sudah puas kalau mendapat nilai bagus dari contekan walaupun pengetahuan mereka tentang pelajaran itu masih dangkal. Nyontek atau ngepek itu kan lumayan enak nggak usah belajar nilainya bagus, kata seorang murid.
Akibat lain dari motivasi kejar nilai yaitu kurang berkembangnya keilmuan yang dipelajari. Misal :
Seorang anak nilai ekonominya 8, tapi mengapa dalam tindakan sehari-harinya tidak mencermnkan tindakan ekonomi, ia tetap boros dan sebagainya. Sedang anak yang lain nilai ekonominya hanya 6, tapi mengapa ia sekarang telah dapat membiayai sekolahnya sendiri.
Nah, standar nilai memang tak selamanya mutlak penting tapi juga perlu, untuk itu bagaimana membuat soal pada pelajaran tersebut yang disamping bersifat pikiran juga kejiwaan agar menentukan nilainya bukan semata-mata hasil dari pengetahuannya yang dangkal. Sebab tujuan pokok sekolah ini untuk mencari pengatahuan dan mengejar nilai.
Belajar untuk ulangan bukan ulangan untuk belajar
Seorang guru selesai mengajar membuat nasihat kepada para muridnya dengan mantap dan kelihatan seram. “anak-anak kalian hendaklah belajar yang rajin agar ulangan kalian bagus”. Dalam benak sang murid yang baru diberi nasihat seram tadi ada gejolak bahwa ulangan yang tidak bagus berarti kegagalan dalam sekolah. Wah, kalau begitu aku harus berusaha agar ulanganku kelak jangan jelek, walaupun dengan ngepek. Jadi apakah ulangan itu? Ulangan untuk apa sih?.
Pada asalnya ulangan adalah untuk mengetahui sampai dimana kemampuan murid dalam pelajarannya, yang umumnya kemampuan tersebut diukur dengan nilai. Kalau begitu tujuan ulangan untuk mengukur kemampuan.
Seperti uraian di atas bahwa pengetahuan tak akan berkembang jika tujuan belajar sudah kabur. Jadi kalau belajar untuk ulangan sama saja efeknya untuk nilai, lagipula akan semakin kabur apa tujuan ulangan itu. Padahal tujuan ulangan itu kan untuk mengukur kemampuan.
Jadi kalau begitu ulangan itu sendiri seharusnya merupakan pelajaran untuk mengukur dirinya sendiri. Dan kalau jiwa sang murid sudah tertanam akan pentingnya ulangan bagi pribadinya yaitu untuk mengukur sampai dimana kemampuannya maka ia tak akan kecewa dengan jeleknya ulangan bahkan ia akan sadar akan kemampuannya. Pengukuran kemampuan akan berhasil apabila tidak ngepek. Jadi dengan demikian setelah mengetahui kekurangannya ia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan ilmunya.
Semboyan “belajar untuk ulangan”, itulah yang mendorong anak untuk ngepek.
Ya….untuk belajar untuk mengetahui sampai dimana ia tahu akan pelajarannya. Bukankah lebih baik bila dipakai saja semboyan “Ulangan untuk belajar”? bukan belajar untuk ulangan.
Kesimpulan
Memang tak selamanya bahwa nyontek adalah kesalahan siswa, mungkin cara penyampaian guru yang baru pada tingkat pelajaran, mungkin juga dari system pengajaran dan pendidikan yang kurang tepat. (adaptasi dari : majalah psikolgi popular anda edisi 40, 1980 oleh M. Iryanto)
A: Untung aku tadi bawa contekan, coba kalau tidak, mana bisa aku ngerjain tuh soal!
B: Nyebai emang tuh guru kalau buat soal sulitnya minta ampun!
A: Coba bayangin, ulangan yang kemarin aku cuma dikasih nilai sembilan dibalik alias enam.
B: Untung aku nggak ketahuan, coba kalau seperti Tuti tadi, dia disuruh keluar waktu ulangan waktu ketahuan nyontek.
Seorang guru kebetulan lewat sambil menguping percakapan tadi cuma bisa cengar-cengir dan garuk-garuk kepalanya yang udah botak.
Memang pelajar zaman ini pandangannya hanya nyontek, maunya santai tapi dapat nilai banyak. Anehnya lagi mereka tidak jera walaupun sudah diperingatkan berulang kali dengan berbagai ancaman. Ketahuan hari ini hari lain sudah lain lagi metodenya. Kemarin lewat lipatan rok, sekarang dengan menulis di meja bangku, esok ?
Esoknya guru tadi dengan geram masuk ke kelas sambil berkata “Anak-anak, yang berani nyontek lagi akan digantung di muka kelas, fotonya”. “he…he…he… Rupanya gertakan tadi berhasil. Sebab dilihatnya dalam ulangan hari ini tidak ada secuil kertas, maupun tangan yang bertulisan.
Tapi, “gila, anak jaman ini, masa 80% dari jawaban sama”. Walaupun rata-rata dapat nilai 70 (alias kerja sama).
Esoknya guru masuk ke ke kelas lagi sambil marah-marah. “Kalian goblok, kurang ajar, kurang disiplin, dan sebagainya”.
Sebetulnya tak bisa kesalahan ini seluruhnya ditujukan kepada murid walaupun jelas bahwa murid nyontek adalah kesalahan. Mengapa ? Sebab seperti hukum mengatakan bahwa setiap akibat pasti ada penyebabnya dan disini bahwa sesungguhnya nyontek adalah suatu akibat, dari sebab di samping sebab dari anak itu sendiri, mungkin juga dari metode guru yang kurang mengena.
Sebab Menyontek
Umumnya pelajaran yang disampaikan baru dalam tingkat pengajaran belum sampai pada tingkat mendidik. Contoh: Umumnya pada pelajaran agama para murid hanya dihadapkan pada suatu pelajaran hafalan, cara-cara beribadah dan sebagainya. Tapi tanpa di didik tentang pelajaran agama tersebut dipelajari. Sehingga walau nilai ulangan mereka bagus, tetapi dalam tindak tanduk serta jiwa belum tertanam suatu tindak dan jiwa beragama walau pengetahuan agamanya sudah memadai.
Juga pada pelajaran lain seperti bahasa mereka diberi pengetahuan bahasa, dan siswa pun nilainya bagus, tapi kenyataannya murid masih saja menggunakan bahasa yang salah.
Akibatnya
Kurang cintanya para murid akan pelajaran yang ia pelajari. Sebab untuk apa dia belajar suatu pelajaran kurang jelas. Apakah gunanya menghafal suatu peristiwa sejarah?dimana letak kegunaan ilmu itu pada perjalanan hidup ini. Dengan kurang cintanya murid pada pelajaran, akibatnya ia merasa bodoh dengan dengan pelajarannya atau dia tidak menjiwai pelajaran itu. Maka bodohlah ia akibatnya ngepeklah ia.
Kebudayaan nilai.
Sebab lain dari ngepek/nyontek/kejasama ialah tuntutan mereka terhadap nilai yang bagus.seperti pada uraian di atas bahwa karena system pendidikan yang salah maka terhadap nilai yang bagus.untuk apa aku perlu belajar sejarah?ia tak tahu bahwa sesungguhnya mempelajari sejarah amatlah berguna bagi hidupnya. Tahunya bahwa ia mempelajari dan belajar sejarah agar mendapat nilai yang bagus. “Nilai yang bagus adalah standar bagi prestasi kami”, kata seorang murid.
Nah, kalau standar prestasi cuma diukur dengan bagusnya nilai akibatnya muridpun cuma akan mencari nilai bukan mencari pengetahuan, mereka sudah puas kalau mendapat nilai bagus dari contekan walaupun pengetahuan mereka tentang pelajaran itu masih dangkal. Nyontek atau ngepek itu kan lumayan enak nggak usah belajar nilainya bagus, kata seorang murid.
Akibat lain dari motivasi kejar nilai yaitu kurang berkembangnya keilmuan yang dipelajari. Misal :
Seorang anak nilai ekonominya 8, tapi mengapa dalam tindakan sehari-harinya tidak mencermnkan tindakan ekonomi, ia tetap boros dan sebagainya. Sedang anak yang lain nilai ekonominya hanya 6, tapi mengapa ia sekarang telah dapat membiayai sekolahnya sendiri.
Nah, standar nilai memang tak selamanya mutlak penting tapi juga perlu, untuk itu bagaimana membuat soal pada pelajaran tersebut yang disamping bersifat pikiran juga kejiwaan agar menentukan nilainya bukan semata-mata hasil dari pengetahuannya yang dangkal. Sebab tujuan pokok sekolah ini untuk mencari pengatahuan dan mengejar nilai.
Belajar untuk ulangan bukan ulangan untuk belajar
Seorang guru selesai mengajar membuat nasihat kepada para muridnya dengan mantap dan kelihatan seram. “anak-anak kalian hendaklah belajar yang rajin agar ulangan kalian bagus”. Dalam benak sang murid yang baru diberi nasihat seram tadi ada gejolak bahwa ulangan yang tidak bagus berarti kegagalan dalam sekolah. Wah, kalau begitu aku harus berusaha agar ulanganku kelak jangan jelek, walaupun dengan ngepek. Jadi apakah ulangan itu? Ulangan untuk apa sih?.
Pada asalnya ulangan adalah untuk mengetahui sampai dimana kemampuan murid dalam pelajarannya, yang umumnya kemampuan tersebut diukur dengan nilai. Kalau begitu tujuan ulangan untuk mengukur kemampuan.
Seperti uraian di atas bahwa pengetahuan tak akan berkembang jika tujuan belajar sudah kabur. Jadi kalau belajar untuk ulangan sama saja efeknya untuk nilai, lagipula akan semakin kabur apa tujuan ulangan itu. Padahal tujuan ulangan itu kan untuk mengukur kemampuan.
Jadi kalau begitu ulangan itu sendiri seharusnya merupakan pelajaran untuk mengukur dirinya sendiri. Dan kalau jiwa sang murid sudah tertanam akan pentingnya ulangan bagi pribadinya yaitu untuk mengukur sampai dimana kemampuannya maka ia tak akan kecewa dengan jeleknya ulangan bahkan ia akan sadar akan kemampuannya. Pengukuran kemampuan akan berhasil apabila tidak ngepek. Jadi dengan demikian setelah mengetahui kekurangannya ia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan ilmunya.
Semboyan “belajar untuk ulangan”, itulah yang mendorong anak untuk ngepek.
Ya….untuk belajar untuk mengetahui sampai dimana ia tahu akan pelajarannya. Bukankah lebih baik bila dipakai saja semboyan “Ulangan untuk belajar”? bukan belajar untuk ulangan.
Kesimpulan
Memang tak selamanya bahwa nyontek adalah kesalahan siswa, mungkin cara penyampaian guru yang baru pada tingkat pelajaran, mungkin juga dari system pengajaran dan pendidikan yang kurang tepat. (adaptasi dari : majalah psikolgi popular anda edisi 40, 1980 oleh M. Iryanto)
No comments:
Post a Comment