PANCASILA DI MATA REMAJA
Dengan semakin gencarnya arus informasi, kebudayaan dari luar yang masuk ke dalam negara Indonesia semakin tak terbendung.Tak dapat dipungkiri akan mempengaruhi jiwa remaja bangsa ini. dalam rubrik aktualita Cendekia edisi 28 ini kami mencoba untuk menggali sejauh mana rasa pancasilainya para remaja khususnya pelajar kita yang sedang bergulat dengan arus itu. Pembaca dapat menelusurinya melalui hasil wawancara kami dengan beberapa pelajar Yogya tentang rasa Pancasilais, juga hasil penelitian terhadap siswa Muga tentang pemahaman mereka terhadap Pancasila. Dan tidak ketinggalan hasil wawancara dengan Pak Muchson, beliau merupakan dosen Filsafat Pancasila UNY dan artikelnya Pak Hanafi
PERGUNJINGAN PANCASILA DIANTARA TOKOH
Dari keenam Presiden kita ternyata banyak juga penyelewengan Pancasila yang mereka loakukan, Pancasila yang merupakan dasar bag kehidupan berbangsa dan bernegara kita sepertinya tidak ditempatkan dengan semestinya. Ok! Kita sebagai pelajar Cuma bisa memandangi fenomena ini.
Presiden Suekarno yang notabene perumus idiologi Pancasila, ternyata juga tidak melaksanakan pancasila dengan konsekuen, terbukti dengan pembolehan PKI hidup di negara kita sehingga G30S PKI tak terelakkan. Dan itu merupakan pelanggaran pada sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, karena PKI adalah suatu ajaran berhaluan komunis. Kalian pasti tau khan apa itu komunis. Ya walaupun demikian dia merupakan tokoh yang banyak berjasa bagi kemerdekaan Indonesia, tanpa dia kemerdekaan tidak akan diploklamirkan pada tanggal 17 agustus 1945.
Ya, setelah kekuasaan orde lama tumbang, gantilah dengan kekuasaan bara yang sepertinya cocok dengan istilah keluar dari mulut harimau masuk ke lubang buaya, bagi rakyat Indonesia. Presiden yang berkuasa selama 33 tahun ini sebelumya merupakan Jendral yang dengan berani dan tegas memberantas PKI hingga PKI hilang di bumi pertiwi. Dalam pidato kenegaraannya Suharto pada tanggal 16 agustus 1967 menyatakan “Orde Baru lahir dan tumbuh sebagai reaksi dan untuk mengadakan koreksi total atas segala bentuk penyelewengan yang silakukan pada masa orse yang berkuasa pada waktu itu yang sekarang disebut orde lama.” Mengenai fungsi dan tujuan Orba dinyatakan “ mempertahankan, memurnikan wujud, dan memurnikan pelaksanaan Pancasila dan UUd 1945” memang bagus tujuannya, tapi didalam realita yang ada banyak terjadi pelecehan Pancasila seperti melakukan pembunuhan massal psada aksi penyerangan dan pendudukan rakyat Maubere tahun 1975 dengan korban lebih dari 200.000 jiwa, penculikan, pemberlakuan tembak ditempat pada setiap unjuk rasa untuk menuntut keadilan sosial dan hak asasi kemanusiaan dan memberlakukan peraturan dalam keadaan darurat, dan lain-lain. Ya, dibalik pembangunan yang maju ternyata tersimpan segudang pelecehan Pancasila.
Dengan turunnya rezim Suharto maka bergantilah kita dengan Pak Habibie, dialah presiden pertama kita yang berasal dari golongan IPA. Presiden yang satu ini melepaskan bumi Timor-timor dari negara kita, ya pelanggaran sila ke3, persatuan Indonesia, memang dilihat dari segi ekonomi pelepasan negri Xanana Gusmao ini menguntungkan, karena sebagian besar dari APBN kita dikucurkan untuk wilayah tersebut. Ya, itulah Indonesia. Akghirnya Habibie pun lengser dengan diturunkan oleh MPR.
Ok! Indonesia masih berjalan, pemerintahan diganti dengan bapak yang berasal dari golonngan Intelektual muslim yaitu Bapak Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, walaupun cacat beliau merupakan tokoh yang cukup disegani, penulis masih ingat dalam sehari belau melakukan 2 kali memorandum bagi DPR. Padahal merandum tuh hanya utuk kepentingan yang mendesak, presiden ini berkuasa kurang lebih 3tahun, walaupun sing residen kita ini banyak meakukan kejutan-kejutan yang bisamembuat jantungan, seperti akan memblehkan Pki hidup lagi, a untung gak jadi ya.
Setelah Gus Dur turu jabatan presiden kita diganti dengan putri Bung Karno yaitu Bu Megawati Suekarno Putri. Presiden perempuan ini tidak begitu telihat eksistensiya, walaupun banyak aset negara yang dijual olehnya dengan dalih unuk membayar hutang negara. Ya, itulah presiden kita.
Nah presiden yang berkuasa saat ini adalah Bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang biasa disingkat dengan SBY. Presiden yang berasal dari golongan militer ini dalam masa pemerintahannya banyak cobaan alam yang menimpa,seperti tsunami di Aceh, longsor,banjir bandag, dan masih banyak lagi. Dan semoga dikepemimpinan beliau mendatang BBM nggak naik lagi. Amin.
Ok! Setelah kami menceritakan presiden-presiden kita, kami akan menunjukkan beberapa hasil wawancara crew cendekia dengan pelajar di DIY mengenai presiden-presiden kita tersebut. Contohnya Puput, siswi SMP Negri 2 Gamping berpendapat bahwa zaman pak Harto lebih baik daripada zaman reformasi sekarang ini karena Pancasila pada waktu itu harus dipahami oleh pelajar, “ Sampai-sampai waktu aku SD dulu soal bahasa jawanya pun juga ada tentang Pancasila,” ungkapnya. Selain itu sekarang ini sepertinya pancasila sepertinya hilang begitu saja gembar-gembornya, kemana hilangnya ?
Beda lagi dengan penuturan Rini, siswi SMK Negri 7 Jogja ini merasa pemerintahan Pak Karno lebih baik karena tanpa dia Indonesia pasti nggak akan terploklamir pada tanggal 17 Agustus 1945. dialah pencetus Pancasila, dia juga yang membangun kompleks senayan yang segede itu, tapi dia juga menyayangkan sikap pak Karno dengan adanya PKI. Tapi manusia khan tempatnya lupa dan salah, jadi dimaklumin dah, tapi Pak Karno is the best lah!
Woro, pelajar yang berasal dari kasihan Bantul ini menyatakan dia nggak milih yang mana Presiden yang paling konsekuen terhadap pancasila. Karena manusia tuh pasti punya kesalahan, “jadi aku nggak milih siapa yang paling baik,” katanya.
Lain lagi dengan penuturan Eka, anak SMA yang tinggal di Sleman ini berpendapat bahwa semua pemerintahan tuh pasti ada kesalahan dan kebaikannya jadi dia maklum atas berbagai kesalahan tersebut, toh dia juga sebagai pelajar Cuma bisa menyampaikan aspirasi kepada pemerintah dan pelaksanaannya terserah pada mereka, dengan kenaikan BBM sekarang ini menimbulkan penurunan kualitas penduduk, mending yang dari golongan ekonomi atas nggak merasa danekonomi bawah dapat subsidi langsung tunai walaupun banyak yang salah sasaran, tapi lebih kasihan bagi yang berekonomi menengah, mereka bisa jadi orang kebawah alias miskin. Ya, itulah hidup, katanya.
Dari beberapa wawancara tersebut ada beberapa kesan yang tak peduli dengan pemerintahan sekarang dan enggan berkomentah lebih jauh tentang pelaksanaan Pancasila oleh Pemerintah beserta baik buruknya, dan semoga hasil wawancara ini bisa menjadi wacana agar kita bisa lebih baik dan menyadari manusia pasti ada kesalahannya (kalau nggak punya salah wajib dicurigai!) dan selamat merenung. (li32)
60% “RAGU” HAFAL PANCASILA
Ternyata siswa Muga banyak yang lupa-lupa ingat hafal lima sila dari Pancasila. Buktinya hasil survey tim Cendekia kita menunjukkan 60% yang demikian. Data lain mengenai tanggapan siswa kita tentang Pancasila itu tersaji dalam hasil penelitian di bawah ini
Pancasila yang rumusannya terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai pandangan hidup, terwujudnya nilai-nilai Pancasila dalam hidup sehari-hari merupakan tujuan bagi seluruh kegiatan kita. Dengan arti dan peranan demikian, Pancasila sekaligus merupakan ukuran tingkah laku kita. Di samping itu, Pancasila juga memiliki peranan sebagai cerminan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karenanya apabila seseorang menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya, maka dapat dikatakan kepribadian orang tersebut dapat mencirikan kepribadian bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, tim Cendekia melakukan penelitian terhadap siswa Muga untuk mengetahui tingkat implementasi atau penerapan nilai-nilai Pancasila dikalangan siswa Muga. Cara mendapatkan datanya dengan menyebar angket secara acak sebanyak 150 angket kepada siswa kelas X, XI, dan XII. Angket itu kembali 145 buah dan setelah disortir yang layak dianalisa sebanyak 100 buah (lebih dari 10% jumlah siswa Muga seluruhnya). Berikut ini adalah hasil penelitian yang dilakukan tersebut :
Dari bagan di atas kita dapat mengetahui bagaimana penerapan nilai-nilai Pancasila dikalangan siswa Muga,miali dari pemahaman, sikap, dan tindakannya terhadap pancasila. Dari segi pemahaman siswa terhadap pancasila, tergolong cukup baik. Dari hasil yang didapat menunkukkan bahwa sebagian besar siswa paham arti pancasila. Namun yang masih memprihatinkan adalah mengenai sikap siswa terhadap pancasila. Pandangan siswa tentang pancasila sebagai hal yang biasa patut digaris bawah, mengingat pancasila adalah yang paling mendasar dalam hidup kita berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan fondasi dari suatu bangunan Negara Indonesia adalah hal yang pokok. Sebagaimana fondasi bangunan yang nyata, Pancasila juga memberi peranan penting bagi berdirinya Negara Indonesia yang mana bila suatu fondasi berubah, maka bangunan itu juga akan berubah. Melihat hal tersebut ada satu hal lagi yang harus kita perhatikan kembali yaitu mengenai adanya pandangan siswa yang mengatakan pancasila itu bisa diubah ataupun diganti, Pandangan tersebut harus sesegera mungkin dihilangkan, karena pancasila nerupakan bangunan Negara Indonesia yang jika dirubah berarti bangunan Negara kitapun berubah. .
Sementara dari segi pengamalan nilai-nilai pancasila masih dirasa kurang. Hal ini dapat dilihat dari data yang diperoleh yang menunjukkan 32% siswa hanya membacanya, dan 26% siswa menghafalkannya untuk tujuan tertentu, sedangkan siswa yang menyikapi pancasila dengan mengamalkan hanya sebanyak 42%. Jika prosentase tersebut kita proyeksikan dengan jumlah siswa Muga seluruhnya maka akan menunjukkan junlah yang kecil, bahkan tidak memenuhi dari separuh jumlah siswa Muga.
Dari uraian-uraian yang dibicarakan diatas, dapat kita ambil satu kesimpulan yang menuntun kita pada satu sikap yaitu mengenai tindak lanjut atau follow up untuk menyikjapi data-data di atas. Dengan demikian tidak perlu adanya salah-menyalahkan mengenai hasil data di atas. Yang terpenting adalah merencanakan pendidikan ideologi pancasila yang bertujuan menumbuhkan nasionalisme di kalangan siswa. Pendidikannya dapat dilakukan dengan berbagai cara dan melalui berbagai aspek. Dengan hal tersebut nantinya daharapkan dapat terwujud siswa yang benar-benar memiliki nasionalisme berdasarkan pancasila dan mencirikan kepribadian Indonesia. (Ari)
PENGALAMAN NOTHING !!
Dwiarini Puspita Sari XI IPA 1
Pancasila merupakan idiologi bangsa yang isi dan maknanya sangat dalam dan luhur.
Griffin Natassya XI A2
Pancasila kurang bisa menyerap di masyarakat, isinya terlalu perfect.
Reina XI IPA 1
Pancasila hanya sebagai formalitas Negara aja! Tapi buktinya?! Nothing! Pancasila mungkin untuk sekarang ini udah mulai luntur, tapi gimana caranya Pancasila itu berwarna lagi. Siapa yang bikin berwarna kalau bukan kita?
Iguh Sumarsono XI A1
Pancasila adalah lambang kepribadian bangsa Indonesia, dan kita sebagai warga Negara harus berusaha mengamalkannya.
Arini Rosadah XI IPA 1
Pancasila is very important.
Rini W. XI A1
Saat ini, banyaknya yang sudah tidak begitu peduli terhadap nilai-nilai Pancasila.
Ahmad Muhtar Jazuli
Lebih baik diubah dengan Al Qur’an dan Hadits.
Rahmad Santoso XC
Tidak relevan dengan Negara ini.
Rizqi Harvin Alfan XB
Tidak ada yang mesti diamalkan dari Pancasila.
Unnamed XII
Pancasila seharusnya diamalkan dan diterapkan tetapi kenyataannya hanya sebatas lambang yang harus dihafalkan.
Ikrar XIA1
Pancasila adalah setir, yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Leni W. XI Sos 3
Harus dipertahankan dan dijunjung tinggi nilai dan norma-normanya.
SEBAGIAN SUDAH PANCASILA
Apa sih idielogi Pancasila? Bagaimana sih sikap anak- anak muda untuk melaksanakan Pancasila? Itulah beberapa pertanyaan dari Tim Cendekia yang menerjunkan langsung Dewanti (XIA4) dan Liesna (XIA3) untuk menginterview Bapak Muchson AR, M.Pd, selaku dosen Fakultas Filsafat Pansasila di UNY. Berikut ini hasil wawancara kami :
Apa sih yang dimaksud dengan idielogi?
Idielogi berasal dari kata Ide, yaiyu gagasan, jadi idielogi adalah seperangkat gagasan tentang tata masyarakat dan negara yang baik.
Kenapa Pancasila harus dipahami rakyat Indonesia ?
Karena Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup kita. Kita sebagai warga negara yang baik harus bisa paham. Manfaat Pancasila yaitu dapat menjadikan masyarakat dan negara bisa tertata dengan baik.
Bagaimana usaha usaha menanamkan Pancasila kepada rakyat Indonesia pada saat era Sukarno, era Suharto dan pada saat era reformasi sekarang ini ?
Pada waktu era Sukarno, Pancasila tidak terlalu hangat dibicarakan karena pada waktu itu pemerintah condong kepada Nasakom.
Pada waktu era Sueharto, Pancasila diharuskan dan dipaksakan karena pada waktu pemerintahan soeharto dia berkomitmen bahwa akan melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Pada era reformasi sekarang ini, penanaman pancasila tidak begitu terlihat, sekarang ini adalah era kebebasa, Pancasila langsung dilaksanakan oleh masyatakat, tidak saperti jaman soeharto yang hanya bicaranya saja.
Mengapa P4 muncul? Apa tujuan dan fungsinya?
P4 muncul pada jaman Soeharto bertujuan agar masyarakat Indonesia menjadi warga negara yang Pancasilais.
Ketika era Soeharto, Pemerintah sangat aktif sosialisasi Pancasila dengan penataran penataran seperti P4, kenapa justru pada saat reformasi hilang begitu saja ?
Dulu Pancasila itu merupakan intrik politik kekuasaan belaka, agar kekuasaan pak Sueharto tetap langgeng.Sekarang Pancasila itu memang tidak ditanamkan melalui P4, karena P4 itu adalah penataran tanpa adanya pelaksanaan jadi hanya bicara saja. Nah, jaman sekarang ini lebih dipentingkan tindakan, seperti toleransi, tidak banyak ngomong tetapai anaten. Bukan hanya ucapan saja.
Menurut Bapak, apa remaja Indonesia khususnya di Yogyakarta ini sudah Pancasilais?
Sebagian remaja sudah sesuai, terbukti dengan pelaksanaan sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan banyaknya kajian agama.Sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” sudah dilaksanakan dengan adanya kegiatan kegiatan sosial dengan remaja sebagai relawan.
Itulah wawancara kami dengan beliau diruang kantornya, walaupun kurang lebih hanya 15 menit semoga hasil interview ini berguna dan bermanfaat.(Lies,Dewa)
PERISTIWA 18 AGUSTUS 1945
HANAFI E. UTOYO
Dalam pentas sejarah Indonesia, dikenal tiga konsep rumusan dasar Negara yang dicetuskan oleh Muhammad Yamin Soepomo dan Bung Karno. Juga dikenal lima rumusan Pancasila, yaitu Pancasila dalam Piagam Jakarta ( 22 Juni 1945), Pembukaan UUD 1945 (18 Agustus 1945), Mukadimah UUDS 1950 (15 Agustus 1950), dan Pembukaan UUD 1945 yang dijiwai Piagam Jakarta (5 Juli 1959) yang hingga kini berlaku.
Peristiwa 18 Agustus 1945 merupakan serpihan episode dari pergumulan sengit tokoh-tokoh terkemuka republik ini dalam menentukan dasar negara. Pergumulan itu secara disadari maupun tak disadari telah berujung pada perdebatan yang memras keringat dan fikiran anatara dua kelompok, nasionalais Islam dan nasionalis sekuler.
Generasi muda Islam, dapat menyelami peristiwa yang genting ini untuk mengambil hikmah dan tauladan akan gigihnya tokoh-tokoh nasionalis Islam, tidak hanya berjuang tapi juga berkorban bagi keutuhan Nusa dan Bangsa.
PENCORETAN TUJUH KATA
Pada bulan Ramadhan Jum’at sore usai proklamsi kemerdekaan 17 Agustus 1945 Bung hattta menerima tamu di rumahnya seorang opsir utusan Kaigun (Angkatan Laut) Jepang membawa kabar penting bahwa wakil-wakil protestan dan Katholik di daerah –daerah (Indonesia Timur) yang dikuasai angkatan laut Jepang berkeberatan atas bagian kalimat “Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” yang terdapat pada Pembukaan UUD 1945 yang rencananya esok harinya akan disidangkan dan disahkan menjadi UUD Negara Indonesia. Kalimat itu tidak mengikat mereka dan mengadakan diskriminasi terhadap minoritas, dan jika tetap akan disahkan mereka akan berdiri sendiri di luar Republik Indonesia.
Inilah fragmen sejarah bangsa kita, sebagai titik awal dicoretnya kalimat “dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya” yang terdapat pada pembukaan UUD 1945, kalimat ini merupakan sila ke-1 dari rumusan piagam Jakarta yang akan jadi dasar Negara, sehingga kalimat yang terdiri dari 7 kata ini dikenal dengan istilah “7 kata piagam Jakarta”.
Esok harinya sebelum sidang PPKI dimulai, bung Hatta mengajak tokoh-tokoh yang berpengaruh, Ki Bagus Hadikusumo (eksponen nasionalis Islam, Muhammadiyah), K.H. Wahid Hasyim (eksponen nasionalis Islam, NU), Mister Kasman Singodimejo (eksponem tentara, Muhammadiyah) dan Mr. Teuku M Hasan (eksponem nasionalis sekuler walaupun beragama Islam) mengadakan pertemuan pendahuluan membahas masalah yang dibawa opsir Kaigun itu, hasilnya 7 kata piagam diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pertemuan pendahuluan (berkisar pada pukul 09.30-11.30 WIB) ini hanya (sekali lagi hanya) berlangsung kurang dari 15 menit! Momentum kurang dari 15 menit ini dengan hebat membalikkan arah jarum jam.
Selanjutnya dapatlah diterka , dalam sidang PPKI pergantian itu dapat diterima, dan itu bukan hanya menyangkut masalah itu saja, kata “Muqoddimah” yang merupakan kata Islam (terdapat di judul awal dalam UUD) diganti “pembukaan”, pasal 6 ayat 1 : Presiden adalah orang Indonesia asli beragama islam, dicoret kata-kata “dan beragama Islam”, pasal 29 ayat 1 menyesuaikan perubahan digantinya tujuh kata piagam Jakarta (Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa mengganti Negara berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya). Maka disahkanlah UUD 1945 dengan Pancasila terdapat dalam rumusan pembukaan UUD itu (disebut sebagai rumusan pancasila dalam UUD 1945).
REAKSI ANTI REAKSI
Memang ditilik dari awal proses pergulatan mengenai dasar Negara, mulai dari BPUPKI, Panitia sembilan hingga PPKI terjadi perdebatan sengit antara kubu nasionalis Islam dan dengan ngotot menghendaki Islam sebagai dasar Negara, dengan dalil Islam adalah wahyu Allah yang Rahmatan lil ‘Alamiin sehingga dengan agama Islam sebagai dasar Negara dapat pula menjad rahmat bangsa Indonesia. Islam berjuang untuk kemerdekaan telah jauh-jauh hari sebelum tahun bahkan sebelum Syarikat Islam bediri (16 Oktober 1905) dimana Syarikat Islam merupakan organisasi pertama ada di Indonesia, disamping itu masyarakat islam merupakan penduduk yang terbanyak, dengan demikian warna dan semangat Islam harus ada dalam dasar Negara.
Nasionalis sekuler ngotot mengusung kebangsaan sebagai Negara, dengan dalih kenyataan masayarakat Indonesia adalah “bhineka” untuk mempersatukan haruslah ada ikatan yang tak menonjolkan satu dengan lainnya dan ikatan yang tunggal ika itu adalah kebangsaan, perjuangan meraih kemerdekaan tidak dilakukan oleh satu golongan saja, kesadaran berbangsa juga telah dilakukan oleh nenek moyang bangsa ini.
Kedua kubu dalam pancasila tidak juga dengan dalih-dalih lain yang meyakinkan. Pada sidang BPUPKI hari pertama (29 Mei 1945), saat membicarakan bentuk Negara, batas Negara, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pembuatan UU semua berjalan dengan datar dan lancar, untuk bentuk kejadian Negara misalnya hampir seluruh peserta memilih Republik (55 suara memilih republik 7 suara memilih kerajaan). Tetapi saat tentang dasar Negara disentuh, iklim politik semakin memanas. Tokoh-tokoh vokal dari kubu nasionalis sekuler seperti Dr. Radjiman, Bung Karno, Bung Hatta, Soepomo, M. Yamin, Wongsonegoro, Sartono, R.P. Suroso, dan Dr. Buntaran (Semua tokoh ini hasil didikan barat) beradu dengan tokoh nasioalis Islam dengan juru bicara terkemuka Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wachid Hasyim, K.K. Ahmad Sanusi, Kahar Mudzakir (mayoritas berpendidikan pesantren).
Kemudian saat ini diadakan voting (pemilihan suara) mengenai dasar Negara ini, pihak nasionalis Islam mengalami kekalahan (15 suara memilih dasar islam dan 47 suara memilih dasar kebangsaasn), ada anggapan kekalahan inilah yang memberi konsekuensi mengapa yang mengajukan konsep rumusan dasar Negara tak ada satupun dari nasionalis Islam , kita kenal dalam buku sejarah, Muhammad Yamin (29 Mei 1945) dengan “lima dasar”, Soepomo (30 Mei 1945) dengan “ Panca Dharma”, dan Bung Karno (1 Juni 1945) dengan “Pancasila”. Adapula yang mempertanyakan jika kalah namun dapat juga mereka mengajukannya, atau benarkah mereka memang tak siap dengan konsep atau adakah ini suatu siasat, walaupun secara resmi dasar Negara bukan Islam tetapi isi dasar Negara itu dapat diberi warna Islam sehingga lebih baiknya mereka diam dalam mengajukan konsep rumusan itu dan kemudian pada sidangh pembahasan isi dapat beradu argumentasi. Memang berbagai anggapan dapat dilontarkan (tentu untuk menguaknya secara detail perlulah kajian yang benar-benar objektif).
Tetapi faktanya, setelah sidang pertama tanpa kemufakatan isi dari Pancasila kemudian dibentuk panitia sembilan dengan kekuatan 4 dari nasionalis Islam (Abdul Kahar Mudzakir, Abu Salim, K.H. Wachid Hsyim, Abikusno Tjokrokusujoso) dan 5 dari nasionalis sekuler (Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subardjo, AA Marawis) pembahasan masalah isi dasar negara semakin alot dan melelahkan. Perbandingan kekuatan yang berimbang itu dalam mengambil keputusan-keputusannya tak dapat dicapai melalui persyaratan forum 2/3 yang hadir menyetujui sesuai aturan tata tertib sidang (bandingkan perimbangan kekuatan keduanya dalam BPUPKI dimana kekuatan nasionalis Islam hanya berkisar 20%), pada akhirnya dicapailah kata kompromi dengan lahirnya Piagam Jakarta (22 Juni 1945).
Saat sidang kedua BPUPKI, pembahasan Piagam Jakarta pun terjadi perang urat syaraf, tampillah Bung Karno (ketua panitia sembilan) membela mati-matian Piagam Jakarta juga menghimbau anggota sidang (nasionalis sekuler) untuk menerima bahkan secara khusus Bung Karno memohon tulus kepada Latuharhary dan AA Marawis (anggota BPUPKI non muslim), maka dicapailah kata bulat menyetujui Piagam Jakarta, selanjutnya dibentuklah PPKI sebagai langkah kerja operasional persiapan kemerdekaan.
Dalam PPKI, perbandingan kekuatan nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler sangat njomplang. Islam hanya diwakili 3 orang (Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wachid Hasyim, dan Kasman Singodimedjo) dari 27 orang dan terjadilah peristiwa 18 Agustus itu.
Piagam Jakrta yang dibuat melalui jalan yang berliku-liku dan tinggal beberapa detik lagi disahkan, langsung dengan buru-buru dan mudah dirubah. Tentu hal ini membuat kekecewaan dari sebagian orang bahkan dianggap sebagai kekalahan politik Islam. Pertanyaan dan pertanyaanpun bermunculan, seperti misalnya dituturkan oleh Prawoto Mangkusasmito :
”Apa sebab Piagam Jakarta yang dengan susuah payah dan memeras otak tokoh-tokoh terkemuka dirumuskan kemudian hanya dalam 15 menit saja dirubah? Apa sebab Bung Karno yang sedang selama sidang kedua BPUPKI mati-matian mempertahankan Piagam Jakarta justru mempelopori (Bung Karno sebagai ketua PPKI dan pemimpin sidang -pen) mengubahnya? Bahaya perpecahan yang akan timbul (karena adanya “Kader penting” dari opsir kaigun -pen) dianggap lebih berat daripada kekecewaannya golongan islam dengan tak sengaja hal ini menjadi sumber fitnah yang sangat merugikan bagsa dan Negara”.
Dari segi perimbangan kekuatan yang tak bandingpun memunculkan kecurigaan, ada apa dibalik itu semua, bahkan K.H.M. Asa Aushary menegaskan kejadian yang mencolok mata itu dirasakan ummat islam sebagai suatu “permainan sulap”, permainan politik pat-gulipat terhadap golongannya (nasionalis Islam), tapi karena jiwa toleransilah golongan ini diam dan tak mengadakan tantangan maupun perlawanan.
Ungkapan 2 tokoh nasionalis Islam terkemuka ini (dikemudian hari 2 tokoh ini bersama-sama dengan Muhammad Natsir sebagai wakil dari partai Masyumi bahu-membahu sebagai singa podium memperjuangkan islam sebagai dasar Negara dalam sidang konstituante tahun 1959) perlulah kiranya dicermati. Bahwa benarkah pada waktu itu suasana yang masih menggelora baru saja sehari merdeka dan dalam kondisi yang darurat (sikap Jepang yang masih bertahan sebagai penjajah, juga ancaman kedatangan sekutu atau Belanda karena merasa telah menaklukkan Jepang) dalam sidang PPKI terjadi rekayasa poitik dari pihak nasionalis sekuler? Sebenarnya apa yang ada di dalam benak Bung Karno yang seolah-olah bersikap bunglon? Atau sikap Bung Karno yang demikian dapat dibenarkan menilik sebelum sidang PPKI sudah terjadi deal di pertemuan pendahuluan?.
Sulit untuk meminta jawaban yang benar-benar obyektif, karena dapat saja hal yang sebenarnya ditutupi oleh kata-kata manis, disamping itu juga adanya peraasan saling curiga antara nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler (sudah berkonvrontasi sejak BPUPKI terbentuk) membuat keruh obyektifitas jawaban.
Sebagai ilustrasi yang mungkin mendekati jawaban yang benar ungkapan perasaan Bung Hatta usai menerima opsir kaigun. Bahwa karena opsir itu (Bung Hatta lupa namanya) sungguh-sungguh menyukai Indonesia merdeka yang bersatu sambil mengingatkan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” mempengaruhi atas pandangannya (pandangan Bung Hatta mengenai Piagam Jakarta), tergambar pula oleh Bung Hatta perjuangannya yang kurang lebih 23 tahun lamanya melalui bui dan pembuangan untuk mencapai Indonesia merdeka dan bersatu dan tidak terbagi-bagi. Dari ungkapan perasaan Bung Hatta inilah tercermin keikhlasan perjuangan beliau untuk kepentingan Indonesia bersatu. Hal senada juga nampak secara jelas saat dalam persidangan di BPUPKI, panitia sembilan maupun PPKI, Bung Karno selalu arti persatuan.
Di luar itu, reaksi dari nasionalis sekuler datar-datar saja bahkan tak begitu mempermasalahkan, seperti ungkapan Muhammad Yamin bahwa Piagam Jakarta tidak diubah dan diombang-ambingkan, sedang Bung Hatta sedikit memberi alternatif bahwa dapat menginsyafi semangat Piagam Jakarta tidak lenyap, dan Negara kita dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, dapatlah umat Islam menyalurkan aspirasinya tentang hal-hal penerapan syariat Islam bagi umat Islam sendiri melalui UU di DPR.
HADIAH UMAT ISLAM
Munculnya reaksi dari tokoh-tokoh Islam dapatlah disadari akan arti pentingnya tujuh kata dari piagam Jakarta bagi umat Islam yang merupakan penduduk terbesar (87 %) dan potensi kekuatan yang luar biasa bagi keutuhan dan persatuan bangsa ini.bahwa Islam bukanlah sekedar suatu perhimpunan orang beriman seperti agama-agama lain, tapi Islam mengatur secara detail kehidupan penganutnya dalam beribadah (secara khusus) maupun sebagai pribadi, keluarga dan bermasyarakat., juga persoalan mengenai ketuhanan dalam paham Islam mensyaratkan Allah tidak wajib dan mutlak tidak disekutukan dengan yang lain. Oleh karenanya, dengan adanya tujuh kata di sila pertama itu, pokok-pokok aqidah hikmah seperti itu dapat diterapkan dan dijamin keberlangsungannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hal ini bukanlah berarti bahwa Islam meminta diistimewakan tapi semua itu semata-mata karena aqidah menghendaki demikian, sedang dari penganut agama lain memaknakan kehidupan beragamanya dengan sila pertama “Ketuhanan” saja tanpa embel-embel 7 kata .
Dengan dicoretnya 7 kata ini, walaupun Bung Hatta memberi jalan tengah dengan usulan membuat UU yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam. Namun ditinjau hakekat ketuhanan 7 kata diganti Yang Maha Esa bermakna lain.
Tafsir “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dicetuskan oleh petemuan pendahuluan berarti ”tauhid” sesuai Al-Qur’an suarat Al Ikhlas (secara historis 7 kata dengan Ketuhanan Yang Maha Esa tak ada bedanya), hal ini merujuk bahwa secara pribadi yang hadir dalam pertemuan itu semua muslim. Tetapi dari sudut agama lain penafsirannya dapat berbeda, dapat Tuhan Trinitas, Maha Widhi , Budha, bahkan aliran kepercayaan pun mempunyai sesuatu yang dipuja sebagai Tuhan. Dengan demikian tafsir sila pertama menjadi bias, merupakan pengakuan dan pengimanan adanya Tuhan-Tuhan bagi bangsa Indonesia sesuai agama yang dianutnya, sila pertama merupakan “gelas kosong” yang dapat diisi es teh, es jeruk, maupun apa saja tergantung keyakinan masing-masing.
Namun bagi Islam persoalan Tuhan bukanlah persoalan “gelas kosong” bukan persoalan es teh atau es jeruk tapi persoalan aqidah. Dengan sila pertama yang demikian itu dapat memberi arti ada kesejajaran Allah dengan Tuhan-Tuhan milik umat non Islam, bahkan “mengakui” adanya berbagai macam Tuhan hal ini jelas kesyirikan, maka sebagian tokoh- tokoh nasionalis Islam sangat kecewa dengan perubahan itu.
Dan bila dikaji lebih dalam, siapakah tokoh kunci penentu dari perubahan itu? Dapatlah diambil analisis sederhana dari tokoh-tokoh yang hadir dalam pertemuan pendahuluan sebagai berikut:
KH. Wahid Hasyim, diundang tapi saat itu tidak hadir karena sedang perjalan ke Jawa Timur sehingga ulama NU ini bukanlah sebagi tokoh kunci dalam pengubahan.
Mr. Teuku M. Hasan, seorang muslim tokoh berpengaruh dari Sumatera. Beliau seorang nasionalis sekuler, tentunya tak begitu mempermasalahkan bahkan sangat setuju adanya pengubahan karena permasalahan yang timbul adalah menyangkut golongan nasionalis Islam bukan golongannya, artinya posisi beliau bukanlah orang kunci perubahan.
Kasman Singodimedjo, tokoh muda nasionlis Islam yang pada waktu itu merupakan anggota PPKI tambahan (awalnya anggota PPKI 21 orang Bung Karno menyarankan ditambah 6 orang.) beliau dari segi pengetahuan dan wawasan tentang perdebatan dasar Negara mungkin sangat paham walau diluar arena (sidang BPUPKI) tetapi langsung terjun dalam pertemuan pendahuluan barulah adaptasi dan tidak siap benar dengan persoalan yang tiba-tiba muncul sehingga peluang sebagai orang kunci penentu perubahan sangat kecil.
Bung Hatta, dipastikan bukan orang kunci perubahan sebab beliaulah orang yang membawa masalah kabar penting dari opsir kaigun, beliau posisinya orang yang minta pendapat orang lain.
Ki Bagus Hadikusumo, sejak dari BPUPKI beliau terlibat perdebatan sengit tentang dasar Negara bahkan menjadi juru bicara dalam nasionalis Islam dan saat dihadapkan pada permasalahan Bung Hatta yang merupakan milik nasionalis Islam maka tidak bisa tidak semua tertuju pada beliau. Dengan demikian beliaulah sebagi orang kunci penentu perubahan itu.
Persoalan kemudian adalah mengapa Ki Bagus mau menyetujui atau mau merubah 7 kata dalam waktu yang amat singkat. Ada beberapa kemungkinan-kemunkinan jawabannya:
1. Ki Bagus menyadari bahwa kekuataan nasionalis islam di PPKI tak berbanding dengan nasionalis sekuler, sehingga bila masih mempertahankan 7 kata justru akan menjadi bumerang bahkan makna ketuhanan akan benar-benar hilang (bila dilakukan voting akan kalah telak dari nasionalis sekuler yang pada dasarnya urusan agama dipisahkan dengan urusan kenegaraan)
2. Perubahan 7 kata merupakan pemikiran cerdas dari Ki Bagus yaitu mengubahnya dengan kata yang lebih mengIndonesia tidak menyinggung perasaan non muslim (“esa” berasal dari bahasa melayu atau sumatera yang berarti tunggal tak terbilang bisa jadi yang mengusulkan kata ini Bung Hatta atau Teuku M Hasan yang dari Sumatera namun bisa juga Ki bagus atau Kasman yang orang jawa karena pengetahuan dan wawasan beliau yang luas, tidak menyinggung perasaan non muslim dan makna (secara histories dan sosiologis) tetap sama maka dipilihlah Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Secara factual apa yang dihasilkan (piagam Jakarta dan UUD) dari BPUPKI hingga PPKI pada awalnya diniatkan sebagai hasil sementara karena dalam situasi dan kondisi yang serba darurat, nantinya kalau semua sudah tenang dan tertata akan dibicarakan lagi dasar Negara atau uud yang dalam lembaga MPR yang benar-benar mewakili rakyat. Hal inilah yang menyadarkan Ki Bagus, bahwa niat awal yang seperti itu dalam kenyataannya menjadi perdebatan yang sengit dan persepsi berkembang bahwa hasil-hasil yang dicapai merupakan hal yang mutlak untuk diterapkan dalam Indonesia merdeka sepenuhnya, sehingga justru yang muncul perpecahan antar anak bangsa. Inilah pengalaman berharga bagi tokoh-tokoh bangsa (termasuk Ki Bagus) waktu itu untuk persatuan dan kesatuan.
4. Rasa nasionalisme dan toleransi yang tinggi pada diri Ki Bagus, sehingga dangan ikhtiar dan keikhlasan beliau menyetujui pengubahan itu, tidak saja tujuh kata yang dihapus, tapi juga kata-kata islami dalam pembukaan UUD1945 itu diganti agar tak menusuk golongan Kristen maupun yang lain.
Lepas dari ikhtiar Ki Bagus barsama-sama tokoh dalam pertemuan pendahuluan maupun reaksi dan polemik berkepanjangan yang justru terjadi antar umat Islam.Perlulah ditegaskan, karena hilangnya tujuh kata itu dimaksudkan memberi reaksi dari “kabar penting” yang diamanatkan ke Bung Hatta, yaitu reaksi-reaksi agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari RI, maka esensi dari peristiwa ini adalah umat Islam Indonesia bersedia memberi korban yang amat besar bagi keutuhan bangsa. Dengan kata lain, seperti yang dikemukakan oleh Menteri Agama RI Jendral Alamsyah Ratu Perwiranegara (28 April 1981) bahwa pancasila merupakan hadiah terbesar umat Islam bagi Republik Indonesia ini.
PANCASILA YANG DEKRIT
Pancasila dari hasil peristiwa 18 Agustus 1945, dalam kenyataannya tidak langgeng karena hanya dapat digunakan dari tanggal 18 Agustus 1945 sampai 1949. Saat kemudian bangsa kita dihadapkan untuk mempertahankan kemerdekaan maka seolah-olah kita “dipaksa” oleh kenyataan sejarah untuk mengganti lagi dasar Negara, yakni rumusan pancasila dalam mukadimah konstitusi RIS (27 desember – 15 agustus1950), rumusan pancasila dalam mukaddimah UUDS 50 (15 agustus 1950 – 5 juli 1959) dua rumusan pancaila (mukaddimah RIS dan UUDS 50) dalam pembahasan perumusannya (dalam sidang-sidang dewan knstitusi) relatif tidak terjadi perdebatan yang meruncing seperti saat BPUKI maupun panitia sembilan. Hal ini dapat dipahami karena saat itu kita benar-benar secara nyata dihadapkan pada masa yang sulit yaitu rong-rongan kelas Belanda dan pemberontakan oleh kawan seperjuangan sendiri.
Maka setelah semua itu dapat diatasi dan suasana sudah tentram, bangsa kita mulai menata untuk memutuskan kembali dasar negaranya. Diawali pemilu yang pertama, 15 Desember 1955 untuk memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar proporsional dalam Dewan Konstituante. Di dewan inilah dengan sidangnya di Bandung, merumuskan dan membahas berbagai hal tentang masalah negara, pemerintahan dan dasar negara. Perdebatan yang sengit dan melelahkan pun muncul (seperti di BPUPKI maupun panitia sembilan), terjadi bentrok antara nasionalis Islam dan nasionalis sekuler saat keduanya membahas tentang dasar Negara. Keduanya kembali berdebat apakah Islam sebagai dasar Negara dan kebangsaan.
Perbandingan kekuatan keduanya pun berimbang, 230 orang nasionalis Islam serta 283 nasionalis sekuler dan PKI. Sehingga sidang yang panjang dan melelahkan dari tanggal 11 November 1957 – 2 Juli 1959 tidak menghasilkan kemufakatan, bila diambil pemungutan suara pun tidak mencapai 2/3 menyetujui dari berbagai usulan tentang dasar Negara termasuk usulan kembali ke Piagam Jakarta maupun usulan kembali ke UUD 1945 (versi 18 agustus 1945). Maka terbitlah dekrit presiden 5 juli 1959 yang menandakan berlakunya rumusan dasar Negara baru, yaitu ”Pancasila dalam pembukaan UUD 1945” yang dijiwai Piagam Jakarta sekaligus pembubaran Dewan Konstituante. Pancasila yang versi dekrit inilah yang berlaku hingga sekarang.
Dengan munculnya dekrit, selesaikah persoalnnya? Tidak! memang dari wakil nasionalis Islam di DPR yang tercerai berai dalam partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII dan Perti) secara aklamasi ikut menerima dekrit, bahkan secara kelembagaan Masyumi menyampaikan nota kepada presiden yang intinya tunduk pada isi dekrit juga memorandum DPR Gotong Royong yang menyetujui dekrit dan memorandum ini diterima bulat oleh MPRS (nomor XX/MPRS/1966), mereka sepertinya setengah hati menerima dekrit untuk kata-kata yang bersangkut paut dengan piagam Jakarta, bahkan ada pula yang benar-benar takut dengan Piagam Jakarta. Muncullah pernyataan-pernyataan yang menyebarkan makna dekrit, misalkan “pengamalan pancasila secara murni dan konsekuen”. Yang diartikan murni dan konsekuen itu adalah pancasila versi 1945 (bukan dekrit), sekarang pengaburan “pancasila yang dekrit” secara samara-samar masih terasa, bahkan dalam buku-buku PMP, PPKN, maupun kewarganegaraan tidak pernah mencampurkan secara jelas dan tegas bila menulis pancsila yang berlaku sekarang dengan “pancasila dekrit”
Peristiwa 18 Agustus 1945, ternyata memberi konsekuensi yang amat berat bagi perjalanan bangsa kita hingga kini tidak saja bagi golongan Islam tetapi juga golongan lain menguasai pengakuan bersama (semua timbal balik) tentang dasar Negara. Oleh karena itu dibutuhkan sikap bijak tidak hanya mengakui secara jujur dan terbuka adanya tahap-tahap perjalanan sejarah menguasai perumusan dasar negara, secara jujur dan terbuka pula mengakui secara (tunduk dan patuh) pada rumusan Pancasila yang kini secara resmi berlaku, yakni Pancasila yang dekrit, dan secara jujur terbuka pula bersemangat dalam penyelenggaraan serta pengalamannya dari Pancasila yang dekrit itu. (Hana,dari berbagai sumber )